Teori-teori revolusioner tidak muncul secara spontan dalam otak para pemikir. Teori itu muncul sebagai akibat dari pengalaman praktis, terutama pengalaman perjuangan. Hal ini terbukti dalam revolusi tahun 1905. Seusai revolusi tersebut, Leon Trotsky mengkaji kembali pengalamannya, lantas merumuskan teori "revolusi permanen" yang meramalkan pola perkembangan revolusi tahun 1917. Sementara Rosa Luxemburg, yang juga ikut berperan dalam revolusi tahun 1905, menulis bukunya tentang pemogokan massa. Dan revolusi tahun 1905 itu sering disebut The Great Dress Rehearsal (latihan penutup) untuk perisitiwa tahun 1917.
Pada awal abad XX, pemerintahan Rusia dipegang oleh Tsar secara otokratik, tanpa lembaga-lembaga demokrasi apapun. Mayoritas besar penduduk adalah petani yang hidup dalam kondisi semi-feodal. Meski demikian, kapitalisme sudah agak mapan. Sebagian besar industri manufaktur diarahkan untuk memenuhi kebutuhan militer negara, tetapi ada industri garmen dan tekstil yang besar pula yang mempekerjakan banyak perempuan.
Kapitalisme berkembang di Rusia agak terlambat. Hal ini berakibat cukup paradoks: pabrik-parbrik yang ada di Rusia bersifat amat modern dan berukuruan besar. Kelas buruh masih relatif kecil, tetapi terkonsentrasi di tempat-tempat kerja modern, canggih dan besar -- jauh berbeda dari pabrik-pabrik kecil yang menyifati tahap-tahap pertama revolusi industri di Inggeris. Inilah yang dijuluki oleh Trotsky sebagai fenomena "perkembangan gabungan".
Kelas pekerja muda sudah melakukan perjuangan yang hebat. Pada tahun 1896 kaum buruh tekstil di ibukota St Petersburg menyelenggarakan pemogokan massa yang pertama. Dalam dua tahun berikutnya, jumlah aksi mogok bertambah dengan cepat. Namun pemerintah meresponnya dengan represi tajam, sedangkan ekonomi Rusia agak merosot, sehingga perjuangan buruh meredam lagi untuk sementara.
Waktu itu sudah ada kelompok-kelompok revolusioner, termasuk Partai Sosial Demokratik Buruh Rusia. Dalam partai tersebut timbul dua faksi yang namanya grup Bolsyevik dan grup Mensyevik (artinya "mayoritas" dan "minoritas"). Mereka sering terkena represi dan para pimpinan mereka tak jarang meringkuk, namun semakin berpengaruh dalam rakyat. Kepala kepolisian mengucapkan keprihatinannya atas pengaruh tersebut:
Selama 3-4 tahun ini, anak-anak Rusia kita yang dulu begitu gampang-gampangan, kian menjelma menjadi semacam unsur intelektual yang separo melek huruf; mereka merasa berkewajiban untuk meremehkan agama dan keluarga, tidak menggubris undang-undang yang ada, serta mentertawakan pihak yang berwenang.
Pada tahun 1904 Rusia berperang dengan Jepang. Mula-mula perang itu merangsang segelombang sentimen patriotis, sementara jumlah aksi mogok anjlok. Namun tidak lama lagi keantusiasan itu menyurut, karena rakyat harus menanggung biaya perang tersebut. Upah kaum buruh turun 25 persen. Di garis depan, para pimpinan militer melakukan kesalahan-kesalahan besar sehingga Rusia akhirnya kalah di medan perang.
Pada bulan Desember 1905 terjadi beberapa aksi mogok. Empat buruh dipecat. Kemudian kaum buruh menyelenggarkan sebuah pemogokan umum di ibukota. Seorang pendeta, Bapak Gapon, mengusulkan agar kaum pekerja pergi ke Istana, guna meminta pertolongan Tsar, yang saat itu masih dipercayai oleh rakyat. Para pekerja menysun sebuah petisi, yang memuat tidak hanya tuntutan ekonomi normatif tetapi juga tuntutan politik, seperti kebebasan berbicara, kebebasan pers, tanah untuk kaum penggarap, semacam parlemen, dan penyelesaian perang. Tuntutan ini mencerminkan pengaruh kaum sosialis revolusioner, dan agak melebihi apa yang dibayangkan si Bapak Gapon (yang sebenarnya seorang intel).
Pada tanggal 9 Januari 1905, ribuan buruh berbondong-bondong ke Istana. Banyak yang menyanyikan hymne-hymne serta membawa gambaran Tsar. Tsar menolak untuk bertemu mereka, lantas tentara menembaki massa. Seribu lebih orang kehilangan nyawa, dua ribu luka-luka. Hari itu kemudian dijuluki "Hari Minggu Berdarah". Kaum buruh melakukan sebuah pemogokan umum di St Petersburg, yang kemudian meluas ke kota-kota lain. Satu ciri yang menyolok dari pemogokan tersebut adalah bahwa tuntutan ekonomi dan tuntutan politik bertumpang-tindih dan saling menguat. Banyak majikan yang terpaksa menyerahkan konsesi, dan di berbagai daerah kaum buruh memenangkan sejumlah hak politik. Partai-partai kiri dapat bergerak dengan cukup terbuka.
Pada bulan Agustus, Tsar menyetujui terbentuknya Duma, semacam parlemen. Namun Duma itu hanya dimaksudkan sebagai badan konsultatif, dan di situ kaum buruh tidak terwakili sama sekali. Di Petersburg dengan jumlah penduduk sebesar 1.4 juta, hanya 13.000 warga berhak mencoblos. "Konsesi" ini hanya membuat rakyat semakin marah, dan pada bulan Oktober terjadi gelombang aksi mogok lagi. Pemogokan tersebut melumpuhkan perusahaan kereta api dan kantor-kantor pos, sekolah-sekolah tutup, penyediaan gas dan air berhenti dan sistem komunikasi ambruk.
Perjuangan kaum buruh menjadi inspirasi bagi rakyat tertindas lainnya. Kaum tani mulai membakar rumah-rumah tuan tanah serta merebut tanah dan pangan. Prajurit-prajurit kecil memberontak. Kaum buruh perempuan yang telah terlibat dalam (dan tak jarang memimpin) aksi-aksi mogok, kemudian memberanikan diri untuk melawan penindasan seperti pelecehan seksual, serta menuntut hak cuti untuk mengasuh anak mereka.
Saat itu kaum buruh di ibukota mendirikan sebuah organ politik yang sangat efektif untuk mengorganisir perjuangan ekonomi dan politik. Organ ini bernama "soviet" (dewan buruh). Soviet itu berasal dari komite-komite aksi mogok di tempat-tempat kerja. Dewan ini sangat demokratik dan mewakili seluruh kelas buruh. Seperti dalam Komune Paris, para utusan dapat di recall sewaktu-waktu, dan gaji mereka tidak melebihi upah seorang pekerja terampil. Tetapi beda dengan Komune Paris tersebut, dewan ini berdasarkan atas para utusan dari tempat kerja, sehingga bersifat 100 persen proletarian. Dewan semacam itu muncul di seluruh Rusia dan mulai menantang kaum penguasa. Kaum buruh menganggap soviet-soviet itu sebagai pemerintah mereka.
Dan dewan-dewan itu memang merupakan semacam pemerintahan tandingan. Soviet-soviet tersebut dibentuk guna melayani kebutuhan-kebutuhan kaum buruh dalam perjuangan sehari-hari -- seperti mengkoordinasi aksi mogok, meyebarkan informasi, serta mencari pangan, obat-obatan dan transportasi waktu industri dihentikan oleh pemogokan. Namun mereka lekas menjadi sebuah organ revolusioner.
Konsesi-konsesi tambahan dari Tsar gagal menenangkan kaum buruh, dan pada bulan November terjadi gelombang pemogokan yang ketiga. Dalam aksi bulan November, hari kerja 8 jam menjadi tuntutan utama. Sampai saat itu, kaum majikan bersikap kurang-lebih netral dalam pergolakan tersebut, karena mereka sendiri menginginkan reformasi politik tertentu, dan tidak keberatan kalau reformasi itu diperjuangkan oleh kaum buruh. Tetapi tuntutan tentang hari kerja 8 jam tidak mereka sukai. Mereka mulai menentang gerakan buruh secara agresif. Di saat yang sama, kepolisian dan pemerintahan lokal mengizinkan sekelompok preman rasis bernama "Ratusan Hitam" untuk menyerang para buruh.
Soviet di St Petersburg dibubarkan pada tanggal 3 Desember. Soviet di Moskow memberontak tetapi pemberontakan itu dihancurkan setelah perlawanan yang heroik selama 9 hari.
Selama tahun 1905, aksi buruh sering lebih maju daripada yang diharapkan oleh golongan revolusioner. Fenomena soviet tidak diramalkan oleh teori-teori kaum kiri. Soviet-soviet dibangun secara kurang-lebih spontan oleh kelas buruh, walau terpengaruh oleh pengalaman Komune Paris. Mula-mula Partai Bolsyevik malah tidak begitu antusias dengan dewan-dewan itu, yang dikira bertentangan dengan peran pemimpin partai. Di saat yang sama, golongan Bolsyevik masih berpegang pada cara-cara organisasi sempit dan konspiratif yang diajukan oleh Lenin dalam tulisannya Apa Yang Harus Dikerjakan? Tulisan itu terbit pada tahun 1903, saat kaum Bolsyevik harus bergerak di bawah tanah. Oleh karena itu, Lenin menganjurkan struktur-struktur ketat untuk sekelompok revolusioner professional, yang dikira akan membawa kesadaran revolusioner kepada kelas buruh "dari luar". Banyak kader Bolsyevik cenderung meremehkan perjuangan normatif yang mereka anggap "apolitis".
(Rosa Luxemburglah yang paling memahami bagaimana pemogokan massa yang normatif bisa berinteraksi dengan perjuangan politik dalam perkembangan revolusioner.)
Peristiwa-peristiwa tahun 1905 memaksa kaum Bolsyevik berubah sikap. Lenin (yang waktu itu di luar negeri) hampir segera melihat potensi dewan-dewan buruh, tetapi baru melalui perdebatan yang alot dia berhasil meyakinkan para aktivis partai. Kemudian partai Bolsyevik ikut terlibat dalam soviet-soviet dengan antusias. Sedang Lenin juga menghimbau agar kaum Bolsyevik "membuka pintu partai seluas-luasanya" dan menyambut ribuan buruh teradikalisasi yang mau masuk. Para buruh muda ini sangat penting untuk mengimbangi para kader lama yang terbukti terlalu konservatif dalam pergolakan tahun 1905.
Revolusi tahun 1905 membuktikan bahwa kelas kapitalis tidak ingin dan tidak mampu memimpin sebuah revolusi borjuis-demokratik. Mereka memang bekepentingan untuk menghilangkan sisa-sisa feodal dari ekonomi dan sistem politik, tetapi takut pada kekuatan revolusioner kelas buruh. Hal ini menjadi titik tolak untuk teori Revolusi Permanen, yang dirumuskan oleh Leon Trotsky berdasaran pengalaman pergolakan tahun 1905 itu. Menurut Trotsky, dominasi mode produksi kapitalis di tingkat global berarti bahwa perjuangan sosialis bisa mulai di Rusia. Kaum buruh tidak hanya harus memimpin perjuangan demokratik, tetapi dalam perjuangan itu mereka mesti berjalan lebih jauh dan mengembangkan revolusi ke arah sosialisme.
Kaum revolusioner harus banyak belajar dari perjuangan spontan kaum buruh. Meski begitu, sebuah partai revolusioner masih diperlukan. Partai Bolsyevik melakukan konsolidasi setelah kalahnya revolusi tahun 1905, sehingga pelajaran-pelajaran itu tidak terlupakan. Tanpa Partai Bolsyevik, revolusi Oktober 1917 tidak mungkin berhasil.
Sejarah revolusi Rusia
Revolusi Februari 1917
Oleh Lian Jenvey
Periode antara tahun 1907 dengan 1911 sangat sulit bagi kaum kiri. Lenin melukiskan zaman reaksioner itu:
Para pendukung Tsar berjaya. Semua partai revolusioner bahkan semua partai oposisi dihancurkan. Perasaan depresi dan demoralisasi, perpecahan, pertikaian, pembelotan dan pornografi mengganti kegiatan politik … Namun di saat yang sama, pada zaman ini partai-partai revolusioner dan kelas revolusioner mendapatkan pelajaran yang amat bermanfa’at … pelajaran dalam memahami perjuangan politik, dan pelajaran dalam ilmu menjalankan perjuangan tersebut … tentara-tentara yang kalah memang banyak belajar.
Mulai dari tahun 1912, perlawanan oleh kaum buruh sudah meningkat lagi. Para buruh tambang di daerah pertambangan emas mogok kerja dan mentuntut hari kerja 8 jam. Namun di saat yang sama, negara-negara Eropa semakin terjerumus ke dalam konflik. Manuver-manuver mereka mempersiapkan medan untuk pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914. Setelah kaum kiri menaruh harapan pada bangkitnya kelas buruh, mereka harus menghadapi sebuah perkembangan yang amat pahit. Terjadi perpecahan antara pihak sosialis moderat yang mendukung perang imperialis tersebut, dan pihak revolusioner yang menolak perang itu.
Lenin mengajukan slogan, "Merubah perang imperialis menjadi perang sipil" (artinya, perang antara kelas pekerja dan kelas kapitalis). Kaum buruh harus berhenti saling membunuh dan harus menentang para kapitalis yang berdosa atas perang tersebut.
Pada hari-hari awal, perang imperialis mendapatkan dukungan yang sangat luas dari masyarakat. Namun dukungan itu semakin merosot karena massa rakyat di masing-masing negeri harus berkorban terus. Jutaan laki-laki berjatuhan di garis depan. Sedangkan kaum perempuan harus mengurus rumah tangga sekaligus bekerja berjam-jam di pabrik dengan upah yang melarat. Sehingga tidak mengherankan Revolusi tahun 1917 pecah pada Hari Perempuan. Seorang pekerja di pabrik mesin Nobel menggambarkan kejadian pada hari itu:
Kami mendengar suara-suara wanita di lorong di belakang jendela-jendela bagian kami: ‘Turunkan harga! Hentikan kelaparan! Pangan untuk kaum buruh!' Aku bersama beberapa kawan lain bergegas ke jendela itu. Pintu-pintu pabrik Bolsyaya Sampsonievskaya dibuka lebar. Massa buruh perempuan yang kelihatan militan memenuhi lorong. Wanita yang melihat kami mulai melambaikan tangan sambil berteriak: ‘Keluar pabrik! Mogok kerja!’ Gumpalan-gumpalan salju terbang-melayang melalui jendela. Kami memutuskan untuk ikut berdemonstrasi.
Dalam Revolusi Februari kita menyaksikan dinamiki perjuangan kaum tertindas. Kaum buruh perempuan dari sektor-sektor yang pengorganisirannya terlemah, menjadi katalisator bagi seluruh revolusi. Kemudian mereka segera menghimbau agar kaum buruh di sektor lain ikut berjuang. Sektor yang paling militan adalah para pekerja pabrik mesiu di daerah Vyborg. Di sektor ini Partai Bolsyevik cukup kuat, tetapi para pemimpin partai setempat tidak setuju dengan aksi mogok, yang mereka anggap prematur. Namun begitu kaum buruh perempuan turun ke jalan, para pekerja di Vyborg segera melakukan solidaritas dan mogok kerja. Aksi mereka pada gilirannya menyuluh aksi-aksi mogok di seluruh ibukota.
Tsar menyuruh tentara menghancurkan demonstrasi dan pemogokan. Namun tampilnya tentara hanya menimbulkan sebuah gerakan protes yang mengarah ke insureksi.
Pada tahun 1905 tentara tetap loyal terhadap Tsar. Namun di tahun 1917 para prajurit sangat resah. Mereka telah mengalami tiga tahun perang yang mengerikan, dan tidak lagi antusias untuk membela rezim. Para prajurit kebanyakan adalah rakyat kecil yang semakin bersimpati dengan buruh, dan merasa memiliki kepentingan bersama dengan kaum buruh. Pada tanggal 27 Februari sejumlah resimen membelot ke kubu revolusioner. Pada hari itu juga, para politisi di Duma yang sampai saat itu hanya merupakan parlemen boneka, menolak instruksi-instruksi Tsar dan menyatakan diri sebagai Pemerintahan Transisi.
Empat hari kelak, pada tanggal 3 Maret, Tsar Nicholas II akhirnya turun tahkta. Rezim Tsar berhasil ditumbangkan dalam kuran waktu sependek 12 hari.
Mirip dengan peristiwa tahun 1905, dalam revolusi Februari aksi-aksi mogok menimbulkan komite-komite buruh, yang lantas mendirikan sebuah dewan pengurus pusat yang mengambil nama "soviet". Kemudian muncul soviet di tempat-tempat lain pula.
Revolusi Februari sering dicap sebagai revolusi "spontan" karena tidak ada kepemimpinan yang jelas. Namun kita tidak boleh melupakan peranan yang dimainkan oleh ribuan buruh yang teradikalisasi dalam revolusi tahun 1905 dan yang tetap menjadi anggota atau simpatisan Partai Bolsyevik. Para aktivis ini, yang dilukiskan oleh Trotsky sebagai "buruh yang sadar dan kawakan yang kebanyakan terdidik oleh Partai Lenin", menjadi pimpinan di lapangan.
Partai Bolsyevik itu masih kecil dan terfragmentasi pada bulan Februari, tetapi kemudian bisa berperan besar dalam revolusi Oktober karena beruntung dari pengalaman revolusi tahun 1905 dan pergolakan bulan Februari. Lenin pernah mengatakan, partai revolusioner harus mempunyai "daya ingatan bagi kelas buruh" (the memory of the class). Partai Bolsyevik bisa bertahan dan akhirnya menang karena belajar dari pengalaman-pengalaman revolusioner, terutama peristiwa-peristiwa tahun 1905. Selama tahun-tahun sulit antara 1906 dan 1917, mereka tidak lupa bahwa massa rakyat telah terbukti mampu untuk mengoyahkan rezim Tsar. Jadi mereka memiliki semangat untuk terus berjuang dan mempertahankan organisasi mereka.
Trotsky baru mengerti peranan partai Bolsyevik pada tahun 1917. Dalam bukunya tentang sejarah revolusi dia menulis:
Di antara massa buruh harus ada aktivis buruh yang telah memikirkan pengalaman tahun 1905, mengkritik ilusi-ilusi konstitusional para liberal dan Mensyevik, mempelajari perspektif-perspektif revolusi, ratusan kali mengkaji kembali masalah peranan tentara dan secara saksama mengamati dinamika intern dalam militer, -- aktivis buruh yang mampu menarik kesimpulan dari apa yang mereka saksikan, lantas mensosialisikan kesimpulan itu kepada orang lain.
Dengan semakin gencarnya gerakan buruh, soviet mulai mengambil alih kendali dan mengurusi fungsi-fungsi dasar di ibukota serta mengorganisir kembali proses produksi. Kaum buruh semakin melihat soviet itu sebagai pemerintahan mereka. Soviet menjadi sebuah administrasi tandingan yang menantang Pemerintahan Transisi. Maka muncullah sebuah situasi yang disebut oleh Trotsky dengan nama "dual power" -- (kekuasaan dobel atau kekuasaan ganda). Kata Trotsky, keadaan "dual power" tersebut muncul begitu "kelas-kelas yang bermusuhan [kaum buruh dan kaum majikan] masing-masing mengandalkan sistem-sistem pemerintahan yang bertentangan -- yang satunya kadaluwarsa, yang lain masih dalam proses pembentukan -- yang berdesak-desakan pada setiap langkah di bidang pemerintahan."
Tumbangnya Tsar berarti dicopotnya sebuah lapisan majikan dan manajer; banyak yang lari keluar negeri. Mulai dari bulan Maret, kaum buruh semakin mendemokratisasi pengelolaan pabrik. Mereka berhasil membatasi jam kerja menjadi maksimal 8 jam dan memenangkan kenaikan gaji sebesar 30-50 persen. Namun walau kemengan ini menunjukkan kekuatan gerakan buruh, massa buruh belum juga mengantisipasi sebuah revolusi dimana mereka akan merebut kekuasaan dari tangan kaum borjuis.
Para buruh telah mengambil kendali atas pengelolaan banyak tempat kerja, namun upaya-upaya mereka diarahkan untuk mempertahankan demokrasi saja, dan belum dimengerti sebagai langkah sosialis.
Partai Bolsyevik sendiri agak terperangah oleh revolusi Februari. Namun dua bulan kemudian mereka sudah mewakili sebuah minoritas yang penting dalam kelas buruh. Mayoritas dalam soviet memang masih dipegang oleh kaum Revolusioner-Sosial (partai petani) dan kaum Mensyevik (sosialis moderat) yang mendukung Pemerintahan Transisi dengan syarat tertentu. Sikap kaum mayoritas itu berdasarkan teori umum bahwa sebelum revolusi sosialis, Rusia dikira harus melalui sebuah revolusi demokratik yang akan memapankan demokrasi parlementer borjuis.
Namun massa buruh semenjak awal merasa curiga terhadap Pemerintahan Transisi. Kaum pekerja menjadi lebih curiga lagi pada bulan April, ketika pemerintahan tersebut menyatakan rencana untuk melanjutkan perang. Mengingat bahwa peristiwa Februari disebabkan oleh kemarahan tentang perang tersebut, kecurigaan para pekerja tidak sulit dipahami.
Pada bulan April itu Lenin kembali ke Rusia. Dia lekas menggembleng Partai Bolsyevik untuk melancarkan perjuangan ke arah sosialisme, dengan orientasi bahwa sebuah revolusi sosialis di Rusia bisa menyulut revolusi di negeri-negeri barat. Orientasi baru yang diajukan oleh Lenin itu berarti, kaum Bolsyevik harus mengutuk Pemerintahan Transisi sebagai pemerintah kapitalis. Mereka harus menuntut agar perang dihentikan, serta mengangkat sebuah slogan yang terkenal: "Pangan, perdamaian, tanah [untuk para penggarap]."
Setelah bulan April, dukungan terhadap Partai Bolsyevik semakin bertumbuh. Satu faktor yang penting disini adalah kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh perang. Makin lama makin banyak perusahaan yang gulung tikar; sehingga makin banyak pekerja yang tunakarya. Gagalnya ekonomi kapitalis membuat slogan-slogan Bolsyevik yang anti-kapitalis semakin disambut oleh para pekerja. Perlawanan oleh kaum buruh menjadi lebih gencar.
Pemerintahan Transisi menyerang kaum pekerja, dengan harapan, serangan itu akan mengambil hati kaum kapitalis. Mereka memprovokasi demonstrasi-demonstrasi yang melibatkan ratusan ribu pekerja, kemudian mereka menuduh Partai Bolsyevik sebagai pemicu insureksi. Koran partai dilarang, pemimpin utama ditangkap. Untuk sementara, represi ini membiakkan suasana yang lebih konservatif dalam tubuh gerakan buruh. Namun para aktivis yang lebih sadar menarik kesimpulan, tidaklah cukup mengganti beberapa menteri. Kekuasaan harus diambil alih oleh soviet. Untuk itu, para pemimpin moderat di dalam soviet harus diganti juga. Artinya, kaum Bolsyevik harus menjadi kepemimpinan soviet.
Waktu itu soviet sudah mulai berkembang sebagai embrio masyarakat baru, di mana kaum pekerja akan menguasai proses produksi dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan rakyat sendiri. Kaun buruh sudah sadar bahwa dalam masyarakat luas kepentingan ini akan diperjuangkan oleh soviet. Peristiwa bulan Februari dan Juli telah meradikalisasi mereka, sehingga mereka semakin menyambut argumentasi Bolsyevik bahwa kelas buruh dan rakyat tertindas harus mengambil alih kekuasaan dan menghancurkan kaum penguasa.
Sejarah revolusi Rusia
Revolusi Oktober 1917
Oleh Tess Lee Ack
Revolusi Oktober merupakan kemenangen terbesar yang diraih oleh kelas pekerja sampai sekarang. Meski peristiwa-peristiwa tahun 1917 sudah lama menjadi sejarah, namun kita dapat banyak belajar dari revolusi tersebut.
Slogan Bolsevik: "Tanah, pangan, perdamaian" mencerminkan aspirasi rakyat pekerja Rusia dan argumentasi kaum Bolseyvik semakin mengambil hati rakyat. Namun Pemerintahan Transisi tidak setuju dengan tuntutan tersebut dan tidak ingin berjuang melawan kaum tuan tanah dan pemilik modal; pemerintahan itu malah melihat gerakan buruh sebagai musuh utuma. Karena terprovokasi oleh serangan kaum majikan dan oleh ofensif militer baru di garis depan, kaum buruh dan prajurit menyelenggarakan sederetan demonstrasi pada bulan Juli. Tidak sedikit di antara mereka yang sudah ingin menumbangkan Pemerintahan Transisi.
Partai Bolsyevik berpendapat, walau massa rakyat sudah siap untuk revolusi di ibukota, namun di kota-kota lain belum demikian, sehingga sebuah insureksi yang bisa berhasil di ibukota kemudian akan terisolasi dan dihancurkan. Tetapi sebagai partai revolusioner mereka tidak boleh menjauhkan diri dari perjuangan massa rakyat. Jadi mereka ikut serta dalam demonstrasi-demonstrasi sekaligus mengusulkan kesabaran. Karena sikap itu kelompok Bolsyevik kehilangan dukungan di berbagai sektor militan. Namun mereka berhasil menjaga kedisiplinan gerakan secara kesuluruhan dan menghindari terjadinya sebuah insureksi yang berkecepatan.
Pada minggu-minggu berikutnya, Pemerintahan Transisi menjalankan represi yang tajam. Para pimpinan Bolysevik ditangkap dan difitnah sebagai mata-mata Jerman. Pers Bolsyevik dilarang, dan para aktivis harus bergerak di bawah tanah. Lenin sendiri harus bersembunyi.
Untuk sementara waktu, gerakan buruh terdemoralisasi dan mengalami kemunduran. Di tempat-tempat kerja, para majikan berusaha merebut kembali kontrol atas proses produksi. Namun kelas buruh masih memiliki soviet-soviet mereka, sehingga serangan kaum majikan akhirnya gagal. Sedangkan kaum tani, yang tidak sabar lagi menunggu pembagian tanah oleh Pemerintahan Transisi, akhirnya mulai mengambil alih tanah secara sepihak.
Ofensif di garis depan gagal, lantas tentara mulai bubar, karena para prajurit melarikan diri dan pulang ke desa. Melihat ini, sebagian dari kaum penguasa dan Jendral Kornilov memutuskan untuk melakukan kudeta guna mencopot kepala Pemerintahan Transisi, Kerensky. Namun cukup jelas bahwa sasaran mereka bukan hanya Kerensky, tetapi juga gerakan revolusioner dan soviet-soviet. Oleh karena itu, Partai Bolsyevik membentuk sebuah front persatuan dengan kekuatan-kekuatan yang masih loyal kapada Pemerintahan Transisi. Tetapi sementara mereka mengarahkan mobilisasi buruh dan tentara untuk mengalahkan Kornilov, mereka juga melakukan sebuah "perang" politik melawan Kerensky.
Mereka menuntut agar kaum buruh dipersenjatai guna melawan kontra-revolusi, dan untuk memperjuangan tanah, pangan serta perdamaian. Hanya dengan cara itu semangat massa rakyat dapat dikobarkan untuk mengalahkan musuh.
Dalam kurun waktu beberapa hari, kudeta Kornilov ambruk. Kemenganan di arena perang ini disertai dengan sebuah kemenangan politik, karena kaum Bolsyevik semakin mendapat dukungan kelas buruh, dan kelas buruh itu semakin sadar akan perlunya revolusi sosialis.
Mulai saat itu situasi politik ditransformasikan. Suasana dalam tubuh kelas buruh semakin radikal dan hal itu dicerminkan dalam komposisi soviet-soviet. Para utusan di soviet itu dapat diganti sewaktu-waktu, sehingga menjelang akhir Augustus Partai Bolsyevik meraih mayoritas dalam soviet Petrograd, dan beberapa waktu kemudian juga menguasai soviet di Moskow. Trotsky menjadi presiden soviet di ibukota seperti pada tahun 1905. Waktu itu Partai Bolsyevik sudah menjadi organisasi utama dalam kelas buruh, dan mendapatkan dukungan yang kuat dari para prajurit dan petani. Jumlah anggota mereka telah naik dari beberapa ribuan pada bulan Maret menjadi seperempat juta. Sehingga secara obyektif sebuah revolusi sudah mungkin. Namun kesadaran massa tidak merata. Di sektor-sektor buruh yang paling maju, angka aksi mogok mulai menurun, sedangkan beberapa sektor lain baru mulai melakukan aksi mogok seperti itu.
Fenomena ini amat berarti. Kaum buruh yang paling maju sudah menarik kesimpulan, pemogokan biasa tidak lagi mencukupi. Bahwa tuntutan-tuntutan buruh -- baik yang ekonomi maupun yang politik -- tidak bisa terpenuhi dalam tatanan sosial yang ada. Sementara kaum buruh yang kesadarannya masih kurang, juga sudah terjepit dalam konflik dengan para majikan; kemudian mereka akan menarik kesimpulan yang sama pula. Seperti tulis Trotsky:
Suasana revolusioner dalam massa rakyat menjadi lebih kritis, lebih mendalam, lebih resah. Massa -- terutama mereka yang pernah melakukan kesalahan dan mengalami kekalahan -- mencari kepemimpinan yang bisa diandalkan. Mereka mau merasa yakin bahwa kita mampu dan berkeinginan untuk memimpin, dan bahwa dalam pertempuran yang menentukan mereka dapat mengharapkan kemenangan … Kaum proletarian mengatakan: tidak ada lagi yang dapat diharapkan dari pemogokan, demonstrasi dan aksi protes saja. Sekarang kita mesti bertempur."\
Setelah kudeta Kornilov gagal, Lenin makin mendesak agar kaum Bolsyevik melakukan taktik yang lebih agresif. Pada hemat Lenin, dalam keadaan yang semakin tidak stabil, kelas buruh harus maju mengambil alih kekuasaan, atau mereka akan dihancurkan oleh kelas penguasa. Pembantaian kaum buruh ketika Komune Paris kalah, dan represi yang tajam setelah gagalnya revolusi tahun 1905, menjadi peringatan bagi dia. Di masa krisis politik, sosial dan ekonomi yang tajam, peralihan secara damai ke demokrasi borjuis tidak mungkin terjadi. Seperti yang Trotsky tulis kelak: andaikata kaum buruh tidak mengambil alih kekuasaan pada tahun 1917, perkataan "fasisme" akan berasal dari Bahasa Rusia bukan Bahasa Italia.
Dalam sebuah pamflet berjudul "Marxisme dan Insureksi" yang beredar secara luas, Lenin memaparkan prasyarat-prasyarat untuk pemberontakan revolusioner. Mereka harus "mengambil hati mayoritas rakyat", dan hal ini harus "terbukti dengan fakta-fatka obyektif" seperti tercapainya sebuah mayoritas dalam soviet-soviet, popularitas besar untuk program perjuangan Bolsyevik, dukungan dalam tentara dan di antara kaum tani, dan hilangnya kredibilitas pemerintahan yang ada untuk menyelesaikan perang dan memulihkan ekonomi.
Pada hemat Lenin, semua prasyarat ini sudah terpenuhi. Tetapi bagaimana caranya untuk menyelenggarakan pemberontakan tersebut?
Para soviet telah mendirikan sebuah Komite Militer Revolusioner guna membela revolusi melawan Kornilov. Trotsky meyakinkan Lenin bahwa Komite inilah (dan bukan organ-organ Partai Bolsyevik) yang harus menjadi wahana insureksi, karena para soviet mewakili seluruh kelas pekerja.
Saat itu Lenin dan Trotsky masih juga harus menghadapi perlawanan di dalam Partai Bolsyevik sendiri. Mereka didukung secara solid oleh basis partai (termasuk banyak buruh yang baru terradikalisasi). Namun sebagian dari kader lama agak kewalahan oleh perkembangan tahun 1917 yang begitu cepat, serta terintimidasi oleh represi yang mereka alami pada bulan Juli.
Lebih parah lagi, pada saat Lenin, Trotsky dan Komite Militer Revolusioner sedang merencanakan insureksi, dua tokoh Bolsyevik terkemuka, Zinoviev dan Kamenev, melakukan perlawanan. Beberapa hari sebelum insureksi terjadi, mereka memberikan informasi tentang insureksi itu kepada sebuah koran non-Bolsyevik. Lenin naik darah dan menuntut agar mereka dipecat, tetapi mayoritas Komite Sentral tidak setuju. Fakta-fakta ini agak bertentangan dengan prasangka sayap kanan bahwa Partai Bolsyevik itu otoriter dan Lenin seorang diktator.
Di bawah kepemimpinan Trotsky, soviet Petrograd menyatakan, perintah-perintah para komandan militer tidak boleh dilaksanakan sebelum perintah itu disetujui oleh Komite Militer Revolusioner. Pemerintah meresponnya dengan melarang pers Bolsyevik, menangkap Trotsky serta melakukan rencana untuk menangkap seluruh kepemimpinan Bolsyevik.
Sudah saatnya untuk pihak revolusioner bertindak. Pada malam tanggal 24 Oktober, rombongan-rombongan buruh mengambil alih stasiun-stasiun kereta api, kantor-kantor pos, sentral-sentral telpon, gudang-gudang amunisi, bank-bank dan perusahaan-perusahaan percetakan. Hampir tidak ada perlawanan, sehingga esok siang pada jam 10:00 kaum Bolsyevik bisa mengumumkan bahwa Pemerintahan Transisi telah tumbang. Istana Musim Dingin memang harus diserbu oleh pasukan Bolsyevik, tetapi pengambil-alihan Istana juga terjadi tanpa pertumpahan darah. Pemerintahan Transisi tersebut begitu kehilangan kepercayaan rakyat sehingga tidak ada kekuatan yang penting dalam masyarakat yang berani membelanya. Di Moskow terjadi pertempuran tertentu. Namun dalam waktu dekat, revolusi sudah menang.
Pada tanggal 26 Oktober, kongres soviet mendirikan pemerintahan baru yang dikuasai oleh Partai Bolsyevik, dengan partisipasi kaum Sosialis-Revolusioner dan berbagai tokoh Mensyevik. Pemerintahan baru ini menyatakan bahwa semua tanah akan menjadi milik kaum tani (pernyataan ini memang hanya mengabsahkan sebuah proses yang sudah berjalan di lapangan) dan menuntut agar perang diselesaikan tanpa pencaplokan oleh pihak yang mana pun.
Pemberontakan Bolsyevik pada bulan Oktober 1917 sering dilukiskan sebagai semacam kudeta. Dalam praktek, semua insureksi tentu saja akan dijalankan oleh sebuah minoritas. Tingal bertanya, apakah insureksi tersebut disokong oleh mayoritas, dan siapa yang memegang kekuasaan dalam tatanan sosial baru.
Kudeta yang dilakukan oleh Pinochet di Chile pada tahun 1973, misalnya, jelas tidak didukung oleh massa rakyat. Ribuan buruh dibunuh atau dipenjara. Hal itu berbanding terbalik dengan revolusi Bolsyevik, yang disokong oleh mayoritas. Ini dikonfirmasi oleh para lawan pula. Sukhanov, seorang pakar sejarah Mensyevik, menulis: "Menggelikanlah bicara tentang sebuah konspirasi militer … padahal, partai [Bolsyevik] diikuti oleh mayoritas besar rakyat …" Sedangkan Martov, seorang pimpinan Mensyevik, mengatakan: "Harap mengerti, yang terjadi di depan mata kita adalah sebuah kebangkitan kaum proletariat -- hampir seluruh proletariat mendukung Lenin serta berharap mencapai emansipasi mereka lewat kebangkitan ini." Sejarawan Robert Service, yang bukan pendukung kaum Bolsyevik, menulis: "Pokoknya … program politik Bosyevik semakin mengambil hati massa buruh, prajurit dan petani … tanpa hal ini, revolusi Oktober tidak mungkin terjadi."
Namun wartawan Amerika John Reed mungkin melukiskan kenyataan itu dengan paling mengharukan. Dia mengingat suasana di Petrograd sesudah terjadinya insureksi. "Seorang pekerja tua yang mengendarai mobil kami memegang stir dalam satu tangan, sambil tangan lainnya terayun menunjuk ke ibukota bersinar. ‘Milikku!’, teriaknya dengan wajah bercahaya. "Sekarang punyaku semua! Petrogradku!’"
Bangkitnya rezim Stalinis di Rusia
(Tulisan Julian bedasarkan "Russia: How the Revolution was Lost" karya Chris Harman.)
Revolusi Oktober menjadi inspirasi untuk jaum buruh seluruh dunia, dan jutaan manusia menaruh harapan pada rezim Soviet. Namun Uni Sovyet amat mengecewakan para pendukungnya karena munculnya fenomena stalinisme. Stalin mejebloskan lawan-lawannya di kamp-kamp konsentrasi, bahkan membunuh mereka. Dia beraliansi dengan Hitler selama beberapa waktu. Pada zaman paska Perang Dunia II, Uni Soviet menindas bangsa-bangsa Eropa Timur. Akhirnya rezim itu ambruk sama sekali.
Fakta-fakta ini sangat mendemoralisasi rakyat pekerja di mana-mana. Jika kita ingin memperbarui teori Marxis, kita harus menjelaskan mengapa hal-hal semacam itu dapat terjadi, dan siapa yang bertanggung-jawab.
Dua segi revolusi 1917
Perkembangan revolusi Rusia menggabungkan dua proses historis yang berbeda. Proses yang pertama terjadi di perkotaan, di mana kesadaran revolusioner kaum buruh berkembang secara pesat, sampai massa buruh mengerti dengan baik masing-masing posisi dan kepetingan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Konflik kelas di perkotaan terjadi antara para pemilik modal dengan kaum buruh yang tidak punya harapan untuk mendapatkan harta pribadi. Proses yang kedua berlangsung di pedesaan, di mana konflik terjadi antara dua kelas pemilik: di satu pihak para tuan tanah, di pihak lain para petani. Kaum tani tidak memiliki kesadaran atau aspirasi sosialis, sebaliknya mereka ingin pembagian tanah. Dalam upaya itu kaum petani kaya (para "kulak") bisa saja ikut partisipasi.
Revolusi Oktober hanya dapat terjadi berdasarkan kedua proses tersebut. Namun kedua proses itu hanya bisa bergabung karena disebabkan faktor-faktor khusus. Di Rusia, kelas borjuis tidak mampu untuk putus dengan tuan-tuan tanah. Sehingga kaum tani terpaksa bersekutu dengan kelas buruh. Revolusi 1917 mengkombinasikan "perang para petani" dengan insureksi kaum proletarian.
Insureksi di kota-kota tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dari para prajurit kecil, yang kebanyakan berasal dari desa. Di saat yang sama, kaum tani tidak mungkin mengalahkan para tuan tanah jika tidak dipimpin oleh kekuatan urban. Di Rusia saat itu, satu-satunya kekuatan urban yang bersedia memimpin kaum tani adalah kelas buruh.
Kelas borjuis dan kaum tuan tanah ditumbangkan, namun kelas-kelas yang menumbangkan mereka tidak mempunyai tujuan bersama dalam jangka panjang. Kelas buruh hidup dari kegiatan kolektif di tempat kerja, sedangkan kaum tani hanya bisa bersatu secara sementara untuk merebut tanah, kemudian mereka akan menjalankan produksi individual kalau tidak didominasi oleh kekuatan luar.
Akibatnya, revolusi merupakan kekuasaan kaum buruh di atas kelas-kelas lain di perkotaan, sekaligus merupakan kekuasaan kota atas pedesaan. Dalam tahap-tahap pertama, pemerintahan Bolsyevik bisa mengandalkan dukungan kaum tani dan memang dibela oleh bayonet-bayonet para prajurit berlatarbelakang rural. Namun apa jadinya kelak? - Pertanyaan ini sudah lama direnungkan oleh kaum Marxis di Rusia. Sebuah revolusi sosialis di Rusia bisa saja tengelam dalam lautan petani, dan hal itu menjelaskan kenapa sebelum tahun 1917 kaum Marxis (kecuali Trotsky) melihat revolusi Rusai sebagai revolusi demokratik saja. Ketika Trotsky mengajukan skenario revolusi sosialis, Lenin menulis:
"Ini mungkin, karena kekuasaan sosialis hanya bisa stabil berlandaskan dukungan mayoritas besar. Sedangkan proletariat Rusia merupakan minoritas rakyat Rusia saat ini."
Lenin mempertahankan pendapat ini sampai awal tahun 1917. Pada tahun itu dia berubah sikap, tapi hanya karena dia melihat revolusi di Rusia sebagai tahap pertama revolusi global, di mana kelas pekerja di barat bisa menolong kaum pekerja untuk mengambil hati para petani Rusia. Delapan bulan sebelum insureksi Oktober dia menulis: "proletariat Rusia tidak bisa menuntaskan revolusi sosialis dengan kekuataan sendiri saja". Empat bulan setelah insureksi tersebut, dia menggarisbawahi "kebenaran yang mutlak bahwa tanpa terjadinya sebuah revolusi di Jerman, kita akan dihabis."
Perang sipil dan kediktatoran Bolsyevik
Rezim Bolsyevik harus menghadapi perlawanan intern yang disokong oleh intervensi luar. Mereka bisa bertahan dan pihak kontra-revolusioner berhasil dikalahkan, tetapi harga kemenangan itu amat besar. Produksi agrikultural dan industrial menurun secara drastis: misalnya tingkat produksi besi kasar menurun sampai 3% persen dibandingkan dengan angka produksi sebelum perang dunia. Ambruknya perekonomian pada gilirannya berdampak besar pada kelas pekerja, yang jumlahnya anjlok menjadi 43% dari angka sebelumnya karena banyak sekali buruh kembali ke desa atau gugur dalam perang sipil. Secara kualitatif, keadaanya lebih parah lagi. Kaum pekerja yang paling militan dan sadar sering gugur di garis depan; atau mereka menjadi penjabat negara. Yang sedang bekerja di pabrik banyak yang baru datang dari udik, sehingga tidak memiliki tradisi sosialis maupun kesadaran revolusioner.
Artinya, kelas sosial yang telah menjalankan revolusi hampir menghilang. Seperti ditulis Lenin pada tahun 1921: "Proletariat industrial … di negeri kita, telah kehilangan wataknya sebagai kelas buruh karena perang dan kemiskinan yang mengerikan; artinya, telah disimpangkan dari jalurnya dan berhenti menjadi proletariat sama sekali." Dalam situasi semacam itu, bagaimana revolusi Rusia bisa bertahan? Masalah ini tidak pernah dipikirkan oleh para pemimpin Bolsyevik. Asumsi mereka, jika revolusi tetap terisolasi di Rusia, rezim mereka akan ditumbangkan oleh pihak borjuis dan imperialis. Yang dihadapi mereka dalam kenyataan adalah, bahwa pihak kontra-revolusi berhasil menghancurkan kaum pekerja sebagai kelas sosial tetapi di saat yang sama, aparatus negara yang dihasilkan revolusi itu masih bertahan. Kekuasaan Bolsyevik masih kuat, tetapi komposisi kekuasaan itu berubah secara fundamental.
Lembaga-lembaga revolusioner yang muncul pada tahun 1917 berkaitan secara organik dengan kelas pekerja. Antara aspirasi kaum buruh dan wakil-wakil mereka tidak ada jurang pemisah sama sekali. Sampai bulan Juni 1918 pemerintahan Bolsyevik sangat demokratik; misalnya partai Mensyevik masih aktif dan legal walau revolusi harus menhadapi serangan dari semua penjuru. Tetapi menyurutnya kelas pekerja merongrongi demokrasi ini secara esensial. Mau tidak mau, lembaga-lembaga pemerintahan semakin melepaskan diri dari pegangan rakyat. Untuk menyelamatkan diri, kaum Bolsyevik semakin mensentralisasi pemerintahan mereka; partai-partai lain, yang bersikap mendua antara revolusi dan kontra-revolusi, tidak dilarang tetapi kegiatan mereka dibatasi. Dalam praktek, demokrasi multipartai dihapuskan pada tahun 1920.
Pembertontakan di Kronstadt dan Kebijakan Ekonomi Baru
Penyelesaian perang sipil sayangnya tidak menyelesaikan situasi sosial yang rumit ini. Situasi tersebut malah diperparah, karena dengan hilangnya ancaman dari pihak kontra-revolusi, kaum pekerja sosialis di perkotaan dan kaum tani di pedesaan tidak lagi memiliki kepentingan bersama. Begitu kepemilikan mereka atas tanah terjamin, kaum tani tidak lagi antusias untuk mendukung revolusi sosialis. Mereka termotivasi oleh aspirasi individual berdasarkan status ekonomi mereka yang borjuis kecil. Yang menyatukan kelas petani secara kolektif hanyalah oposisi terhadap pajak dan pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintahan Bolsyevik untuk memasok para penduduk perkotaan.
Puncak oposisi tersebut diraih satu minggu sebelum Kongres Partai Komunis (Bolsyevik) pada bulan Maret 1921. Para kelasi angkatan laut memberontak di Benteng Konstradt, yang menjaga pelabuhan ibukota. Benteng yang amat strategis ini telah memainkan peranan heroik dalam revolusi tahun 1917, namun komposisi pasukan di situ sangat berubah antara tahun 1917 dengan 1921. Unsur-unsur sosial terbaik sudah lama sebelumnya berangkat ke garis depan. Mereka diganti oleh petani yang (seperti tercatat diatas) tidak menonjolkan kesadaran sosialis. Saat memberontak, mereka ajukan tuntutan seperti "soviet tanpa Bolsyevik" dan pasar bebas untuk produk pertanian, yang secara praktis berarti melikuidasikan revolusi sosialis. Sehingga mau tidak mau, pemberontakan itu harus dihancurkan.
Kejadian-kejadian Kronstadt memperlihatkan secara terang-terangan perselisihan kepentingan antara kedua kelas yang melakukan revolusi tahun 1917. Sehingga peristiwa itu merupakan peringatan yang amat serius. Revolusi sedang dibela, bukan oleh massa buruh, melainkan oleh angkatan bersenjata. Pemerintahan revolusioner semakin terisolasi, karena massa rakyat kebanyakan petani. Semua faksi dalam Partai Bolsyevik sepakat, bahwa krisis itu hanya bisa diatasi dengan memberikan konsesi kepada kaum tani yang menuntut pasar bebas, sekaligus mempertahankan rezim pemerintahan yang sentralistik. Solusi ini dicap sebagai Kebijakan Ekonomi Baru (akronim Bahasa Rusia: NEP). Tujuannya adalah mencari rekonsiliasi antara kaum tani dan rezim Bolsyevik serta merangsang pembangunan ekonomi dengan memberikan ruang tertentu untuk produksi swasta. Negara dan perusahaan milik negara beroperasi hanya sebagai satu unsur saja dalam perekonomian yang sebagian besar ditentukan oleh kebutuhan kaum tani dan perkembangan pasar bebas.
Partai, negara dan kelas pekerja antara tahun 1921 sampai dengan 1928
Selama periode NEP negara Rusia tidak lagi bisa mengklaim diri sebagai negara "sosialis" dalam artian yang minimal pun; dari satu sisi hubungan antara kelas pekerja dengan negara tidak lagi mencerminkan aspirasi kaum buruh; dari sisi lain perekonomian tidak lagi menonjolkan sifat-sifat paska-kapitalis. Kaum pekerja tidak berkuasa dan ekonomi tidak direncanakan oleh negara. Namun aparatus negara tetap di tangan Partai Bolsyevik yang masih berpegang pada program sosialisnya, sehingga kebijakan pemerintah diharapkan tetap sosialis.
Tetapi dinamika sosial-politik waktu itu agak kompleks. Yang pertama, lembaga-lembaga yang bercokol di Rusia tahun 1921 sudah jauh berbeda dari soviet-soviet dan Partai Bolsyevik di tahun 1917. Para aktivis Bolsyevik yang ikut partisipasi dalam Revolusi Februari adalah orang revolusioner berkomitmen yang menanggung resiko berat selama berjuang bertahun-tahun melawan Tsar. Mereka tidak melepaskan prinsip-prinsip sosialisme bahkan ketika harus menghadapi empat tahun perang sipil dan ketersekatan dari rakyat pekerja. Namun pada tahun 1919 unsur-unsur ini hanya merupakan 10% dari anggota partai; pada tahun 1922 hanya 2-3%. Karena Partai Bolsyevik telah bertumbuh secara dasyat. Banyak sekali orang yang masuk partai itu yang bukan revolusioner melainkan merupakan unsur-unsur oportunis yang ingin naik daun dalam birokrasi negara.
Bukan hanya partai yang degenerasi tetapi juga aparatus negara. Untuk menjalankan pemerintahan negara dalam kondisi perang dan krisis ekonomi, rezim Bolsyevik terpaksa mempekerjakan ribuan pegawai dari zaman Tsar, dan pegawai-pegawai ini sulit diatur oleh kaum Marxis. Seperti Lenin katakan di kongres partai 1922:
"Cukup jelas apa yang kurang. Lapisan atas kaum komunis kekurangan budaya. Mari kita simak keadaan di Moskow. Massa birokrat ini – siapa yang memimpin siapa? Apakah 4.700 komunis yang bertanggung-jawab sedang memimpin massa birokrat itu atau sebaliknya? Rasanya kita tidak bisa mengatakan dengan jujur bahwa kaum komunis sedang memimpin massa birokrat itu."
Menjelang akhir tauh 1922 dia melukiskan aparatus negara sebagai sesuatu yang "dipinjam dari rezim Tsaris dan nyaris tidak tersentuh oleh dunia soviet … sebuah mekanisme borjuis-Tsaris".
Di bawah kebijakan NEP para aktivis partai harus menghadapi para pedagang kecil, para kapitalis picisan, para petani kaya ("kulak") – serta bekerjasama dengan mereka sampai titik tertentu. Banyak di antara para aktivis yang terpengaruhi oleh pergaulan itu. Di saat yang sama, konsesi yang harus diberikan kepada kaum tani menurunkan (secara relatif) posisi ekonomi kam buruh. Posisi itu juga menurun dibandingkan dengan para pimpinan dan manajer industri. Pada tahun 1922, 65% dari kaum manajer masih buruh; tetapi setahun kemudian angka itu sudah jatuh menjadi 36%. Para "industriawan merah" semakin menikmati gaji tinggi dan privilese yang tak terjangkau oleh massa pekerja, sedangkan pengelolaan oleh satu orang yang punya kewenangan untu memecat orang lain (one man management) menjadi fenomena umum. Di saat yang sama, angka tunakarya naik terus menjadi 1,4 juta pada tahun 1923-24.
Perselisihan dalam Partai
Manusia membuat sejarah, tetapi dalam kondisi yang tidak mereka pilih; dalam membuat sejarah mereka juga merubah baik kondisi itu maupun diri sendiri. Partai Bolsyevik tidak kebal akan hukum materialis ini. Dalam upaya menegakkan rezim sosialis di hadapan perang sipil dan krisis sosial, kehendak sosialis mereka menjadi faktor historis, tetapi kekuatan-kekuatan sosial yang harus mereka kerahkan demi tujuan itu tak urung merubah wajah Partai Bolsyevik itu sendiri.
Mereka harus menjadi perantara antara berbagai kelas sosial guna menghindari konflik destruktif, dan revolusi Bolseyvik hanya bisa bertahan dengan memuaskan kebutuhan kelas-kelas yang beraneka-ragam itu. Partai Bolsyevik, yang posisinya semakin di atas kelas-kelas sosial tersebut, mulai mencerminkan pengaruh kekuatan-kekuatan yang bevariasi itu. Satu-satunya kelas yang memiliki potensi sosialis – kelas pekerja – sangat lemah dan kurang terorganisir waktu ini sehingg pengaruhnya merosot di dalam partai Bolsyevik tersebut, meskipun tentu saja kaum Bolsyvik terus mengatasnamakan kelas pekerja.
Oposisi Kiri
Tidak bisa disangkal bahwa dalam hal gagasan politik, Oposisi Kiri merupakan faksi intern dalam partai yang paling dekat dengan tradisi Marxis yang sejati. Kelompok ini menolak mendefiniskan kembali "sosialisme" menjadi perekonomian petani ataupun akumulasi industrial. Mereka berpegang pada demokrasi buruh sebagai sifat utama sosialisme, dan juga menolak mensubordinasikan revolusi global di bawah slogan "sosialisme satu negara".
Meski demikian, Oposisi Kiri tidak merupakan faksi "proletarian", karena di Rusia pada tahun 1920-an, kelas pekerja terlalu lemah untuk berdampak besar pada partai. Seusai perang sipil, kelas itu memang bangkit kembali, tetapi dalam kondisi yang membuatnya sangat lemah dalam memperjuangkan kebutuhannya. Angka pengangguran cukup tinggi; para aktivis buruh yang paling militan banyak yang gugur dalam perang sedang banyak juga yang naik daun menjadi pejabat negara; sebagian besar dari kelas pekerja terdiri dari petani yang baru datang dari udik. Pada umumnya mereka tidak mendukung Oposisi Kiri melainkan bersikap apatis terhadap dunia politik, sehingga agak mudah dimanipulasi dari atas. Oposisi Kiri mendapati diri dalam sebuah situasi yang cukup lazim bagi kaum kiri: memiliki sebuah program untuk aksi revolusioner kelas pekerja pada saat kaum pekerja sendiri terlalu lelah dan demoralisasi untuk berjuang.
Selain itu, Oposisi Kiri terhambat oleh pengakuannya akan kenyataan ekonomi. Argumentasi mereka menekankan bahwa kurangnya sumber daya akan membuat kehidupan massa rakyat amat payah walaupun rezim menerapkan kebijakan yang mana pun. Mereka juga menekankan perlunya baik mengembangkan industri dalam negeri maupun meluaskan revolusi ke negeri lain sebagai cara untuk menyelamatkan ekonomi intern. Namun dalam jangka pendek mereka tidak bisa menawarkan banyak bantuan bagi kaum pekerja.
Dalam garis besar, Oposisi Kiri mengajukan tiga tuntutan pokok yang saling berkaitan:
1. Revolusi hanya dapat maju ke arah sosialisme jika perkotaan dan industri diperkuat agar tidak didominasi oleh pedesaan dan pertanian. Untuk itu kaum tani kaya harus kena pajak yang tinggi.
2. Perkembangan industrial ini harus disertai dengan demokrasi buruh yang lebih mendasar, demi menghindari kecenderungan birokratis dalam partai dan negara.
3. Kedua kebijakan tersebut bisa mempertahankan Rusia sebagai benteng revolusi, tetapi tidak mampu mencapai tingkatan material dan kultural yang diperlukan untuk menerapkan sosialisme. Itu hanya mungkin jika revolusi meluas ke Eropa Barat.
Dari segi ekonomi, tidak ada yang mustahil dalam program ini. Padahal beberapa tahun kemudian Stalin sendiri menjalankan percencanaan industrial dan serangan pada kaum tani, namun dengan tujuan yang jauh berbeda dari tujuan Oposisi Kiri. Namun mereka yang menguasai partai pada tahun 1923-28 tidak sepakat dengan usulan-usulan tersebut saat itu; mereka menghantam dan mengucilkan Oposisi Kiri. Partai Bolsyevik tidak bisa terima program ini karena partai itu semakin didominasi dua kekuataan yang antagonistis terhadap grup Kiri.
Grup "Kanan" dan Grup "Tengah"
Kekuatan yang pertama terdiri atas unsur-unsur yang tidak menganggap konsesi kepada kaum tani sebagai sesuatu yang bertentangan dengan sosialisme. Mereka malah ingin menyesuaikan kebijakan-kebijakan partai dengan kepentingan petani. Ini bukan hanya merupakan platform teoretis, melainkan juga mencerminkan kepentingan semua unsur dalam partai dan lembaga-lembaga pemerintahan yang suka berkolaborasi dengan golongan petani kaya dan para pedangang parasit yang bangkit di bawah naungan kebijakan NEP. Unsur-unsur ini merupakan semacam faksi "Kanan". Pemimpin utama mereka adalah Nikolai Bukharin yang mengajak kaum tani "memperkaya diri".
Kekuataan kedua mendapat dukungan dari berbagai unsur baik di dalam maupun di luar partai. Kalau disimak secara dangkal, yang menjadi kekhawatiran mereka adalah ketegangan sosial yang harus diatasi, sehingga mereka melawan usulan untuk menyerang kaum tani tetapi tidak memihak kubu petani secara langsung. Dalam partai mereka didukung terutama oleh unsur-unsur yang ingin mengkonsolidasikan aparatus partai secara birokratis. Pemimpan utama mereka adalah Stalin yang mengepalai aparatus partai.
Di mata Oposisi Kiri, faksi Stalin tampaknya seperti faksi "tengah" yang terambong-ambing antara tradisi Marxis dan sikap pro-petani kaum "Kanan". Namun pada tahun 1928, Stalin tiba-tiba menerapkan butir pertama dalam program Oposisi Kiri – dengan menyerang faksi "Kanan", menjalankan program industrialisasi dan kolektivisasi yang intensif. Orang-orang Oposisi Kiri itu terperangah. Nyatanya Stalin mempunyai dasar sosial sendiri. Dia bisa bertahan tanpa dukungan dari kelas proletariat ataupun kelas petani. Faksi ini berlandaskan birokrasi partai. Dengan runtuhnya gerakan buruh sosialis, birokrasi ini semakin kokoh berdiri di tengah masyarakat. Juga banyak mantan pejabat Tsaris yang masuk birokrasi tersebut dan naik daun. Partai (bukan lagi kaum buruh sendiri) yang menguasai masyarakat, tetapi birokrasilah yang menguasi partai.
Mula-mula sikap birokrasi itu agak pasif; mereka hanya melawan dan memblokir prakarsa-prakarsa yang dapat mengancam posisi mereka, seperti usulan-usulan Oposisi Kiri umpamanya. Selama birokrasi masih mengambil sikap reaktif ini, mereka cenderung bersekutu dengan faksi "Kanan", sehingga kuatnya birokrasi sebagai kekuatan sosial belum kentara. Represi yang dijalankan birokrasi tersebut tampaknya merupakan upaya untuk memaksakan kebijakan-kebijakan pro-petani.
Namun dalam periode ini birokrasi sedang berkembang menjadi sebuah kelas sosial independen.
Kontra-revolusi Stalinis
Trotsky pernah mengatakan, bangkitnya rezim stalinis tidak bisa disebut sebagai "kontra-revolusi" karena terjadi melalui sebuah proses gradual. Namun tidaklah benar bahwa semua peralihan dari satu bentuk masyarakat ke bentuk lain merupakan perubahan cepat dan terkonsentrasi. Peralihan dari kapitalisme ke sebuah negara buruh memang demikian, karena kelas pekerja tidak bisa memapankan kekuasaannya sedikit demi sedikit. Namun dalam transisi dari masyarakat feodal ke sistem kapitalis tak jarang ada perubahan yang melewati bermacam-macam konflik kecil selama bertahun-tahun. Begitu pula kontra-revolusi stalinis.
Birokrasi tidak perlu merebut kekuasaan dari kelas pekerja secara sekali pukul. Runtuhnya kelas pekerja sebagai akibat perang sipil menyebabkan birokrasi semakin memegang kekuasaan. Para pejabat negara dan partai sudah mendominasi industri, kepolisian dan militer. Mereka hanya tinggal membentuk lembaga-lembaga itu kembali sesuai dengan kepentingan mereka sebagai kelas penguasa. Proses ini bukanlah "gradual", melainkan melewati sejumlah konfrontasi.
Konfrontasi yang pertama dan terpenting terjadi antara unsur-unsur stalinis dengan Oposisi Kiri. Walau golongan kiri itu tidak selalu melawan langkah-langkah yang diambil oleh Stalin, tetapi faksi stalinis menyambut pernyataan pertama Oposisi kiri dengan luar biasa sengit. Para tokoh kiri difitnah dan aparatus partai digunakan untuk mencopot para pendukung Oposisis Kiri tersebut. Untuk membenarkan taktik semacam ini yang jauh dari tradisi Bolsyevik, golongan stalinis menemukan dua konsep ideologis baru yang dipertentangkan. Di satu pihak mereka mengkultuskan dan mengidolakan Lenin, bahkan mayat Lenin dimumiakan. Di pihak lain mereka menciptakan "Trotskisme" sebagai kambing hitam. Kutipan-kutipan lama dari Lenin digunakan untuk menimbulkan ilusi bahwa Lenin dan Trotsky sama sekali bermusuhan; di saat yang sama kaum Stalinis tidak menghiraukan surat wasiat Lenin yang terakhir, yang menyebut Trotsky sebagai "anggota Komite Pusat yang paling mampu" serta mengusulkan agar Stalin dicopot dari posisinya.
Konfrontasi kedua mulainya agak berbeda. Mula-mula bukan merupakan konflik antara birokrasi dan para aktivis partai yang masih berpegang pada aspirasi sosialis, melainkan antara Zinoviev (yang secara formal menjabat posisi tertinggi dalam partai) dan aparatus nasional partai yang sebenarnya jauh lebih kuat. Di kota Leningrad, Zinoviev menguasai aparatus setempat. Cara aparatus itu bertindak kurang lebih sama dengan aparatus di tempat lain, namun fakta bahwa aparatus di Leningrad independen dari aparatus nasional menjadi sebuah hambatan bagi birokrasi. Leningrad bisa menjadi sumber kebijakan alternatif yang dapat mengacam posisi birokrasi secara keseluruhan. Maka aparatus di Leningrad harus diintegrasi dalam aparatus nasional. Zinoviev tumbang. Setelah itu, Zinoviev perpaling ke tradisi Bolsyevik dan mengambil sikap dekat dengan Oposisi Kiri; selama tahun-tahun kelak dia terombang-ambing antara Stalin dan Trotsky.
Sesudah tumbangnya Zinoviev, Stalin dan para pedukungnya semakin memegang kekuasaan. Mereka menghantam Oposisi Kiri. Pada tahun 1928 Stalin mulai meniru Tsar dengan membuang para aktivis kiri ke Siberia. Namun langkah-langkah sedrastis ini belum juga cukup. Akhirnya dia membunuh para tokoh terkemuka Partai Bolsyevik, termasuk para tokoh "Kanan" seperti Bukharin.
Faksi Stalinis sudah menguasai negara, tetapi belum menguasai seluruh Rusia. Birokrasi telah mengambil alih kekuasaan dari kelas pekerja di perkotaan, tapi pedesaan belum disentuh. Hal ini tiba-tiba menjadi perhatian Stalin pada tahun 1928, ketika kaum tani menolak memasok kota-kota. Stalin membalas dengan menjalankan kolektivisasi paksa. Dominasi perkotaan, yang pernah diajukan oleh Oposisi Kiri sebagai program kiri, dipaksakan oleh Stalin dengan implikasi lain. Sumber-sumber daya diperas dari pedesaan demi program akumulasi modal secara intensif. Dorongan untuk mengakumulasi modal merupakan dinamika kapitalis. Rusia telah menjadi sebuah masyarakat kapitalis tipe baru: kapitalisme negara.
Apa pendapat anda untuk "Sejarah revolusi Rusia: Revolusi tahun 1905 Oleh Tess Lee Ack"
Silahkan tinggalkan Komentar..!!
Silahkan komentar yang sopan. dan saran buat perbaikan "blog proletar"
Cara Komentar:
1.Tulis Komentar Anda
2.Kemudian, Pilih Name/URL
Isi Nama Anda dan URL blog/wesite/facebook Anda
Kalau URL g isi pun tidak apa - apa
3.Klik "continue"
4.Kirim.