berlawan

Blog Proletar Belum Update

Blog Proletar Belum Update, Sudah beberapa lama saya tidak update sama sekali blog ini lagi mungkin ada yang pernah berkunjung diblog ini tapi postingannya hanya itu-itu saja, untuk pemberitahuan, saya akhir-akhir ini banyak online and posting di "blog ID Creative" postingan semau saya, karena saya belum menemukan niche... tapi yang pasti selain itu jika anda tertarik bisnis online silahkan berkunjung di blog Make Money From Google Adsense, tapi pake bahasa inggris.

Thanks telah berkunjung di "Blog Proletar" tochnorati : SZFWEYF2TMY4.

Ini bukan soal Gayus


Ini bukan Soal Gayus
Oleh : Dedi hartono*

Penanganan kasus Gayus sebagai cerminan penegakan hukum
Gayus, siapa yang tidak kenal Gayus?, mantan Pegawai Ditjen Pajak golongan III tersebut sampai hari ini Gayus semakin dikenal banyak masyarakat Indonesia sebagai  “ mafia pajak” bahkan Nama Bona Paputungan mendadak sering disebut-sebut di berbagai media. Mantan narapidana ini mencuri perhatian sejak lagu dan video klipnya yang menyanyikan ‘Andai Aku Jadi Gayus’ beredar di dunia maya.
Kasus Gayus naik daun setelah dia menyelewengkan dana pajak sekitar 24,6 miliar lebih tersebut akhirnya terungkap, tetapi aksi Gayus tidak berakhir sampai disitu, malahan ketika dia di dalam tahananpun mafia pajak tersebut masih dengan santai-santainya berplesiran keluar negri layaknya anggota Dewan, dengan semakin berbelit-belitnya kasus Gayus tersebut, bahkan tidak sedikit korban dalam lingkaran mafia, termasuk jenderal polisi, jaksa, tokoh politik, pengusaha, pengemplang pajak dan petinggi negri ini yang terbawa dan tergerus oleh kasus Gayus yang nama lengkapnya Gayus Halomoan Tambunan.
Memang ironis, jika dipikir gampanganya yaitu seorang yang terlibat korupsi dengan bukti-bukti yang sudah jelas akhirnya dipenjara dan masih sempat membuat geger banyak orang, tetapi bukan sampai disana saja kasusnya, yang lebih parah lagi adalah setelah dia dalam penjarapun kasusnya semakin menjadi-jadi, siapa yang menjadi dalang semua ini?
Pemilu 2009 adalah pemilu elit politik pembohong
Apa hubungannya pemilu 2009 dengan Gayus?, sekarang sudah tahun 2011 tetapi kasus Gayuspun juga belum selesai-selesai yang sudah berumur hampir lima bulan setelah dia disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan  dikarenakan kasus penggelapan dana pajak.
Pada pemilu 2004 sebanyak  34 partai politik yang lolos verifikasi administrasi Pemilihan Umum (Pemilu) dan berkecimpung dalam pesta demokrasi ala Indonesia tersebut, dan hanya ada 3 partai yang unggul dan mayoritas hingga mencapai keputaran finalnya yaitu partai PDI, GOLKAR, DEMOKRAT beserta koalisinya, tetapi dibalik kemenangan SBYdan JK tersebut tersembunyi atau tersimpan jasa besar sang milioner Indonesia yaitu Ical atau Aburizal Bakrie. Walaupun hanya isu dan belum ada sumber yang pasti terkait hutang SBY kepada Aburizal Bakrie sebagai salah seorang penyumbang kemenangan SBY dalam bantuan untuk kampanye SBY  tersebut, tetapi masyarakat Indonesia sudah tahu dengan banyaknya berita tentang kedekatan mereka berdua. Hubungan SBY dengan ical sampai sekarang belum juga berakhir, bahkan semakin dekat berkat setgab yang dibentuk untuk koalisi kepentingan dan terpilihnya ical sebagai Koordinator Sekretariat Gabungan Koalisi partai politik pendukung pemerintah, dikarenakn pemimpin negeri ini ternyata tidak sanggup melunasi hutang dari pinjamannya kepada ical akhirnya bukan masalah “Hutang” yang menjadi lebih parah tetapi masalah kebijakan politik yang diambil SBY selama kepemimpinannya juga dipertanyakan karena tidak punya wewenang bersuara lebih keras dibanding sang jutawan negeri ini.
Demokrat vs Golkar dengan kebijakan politik kartelnya
Ajang pemilu 2014 sudah semakin dekat bagi penguasa dan pengusaha yang haus kekuasan di negri ini, tidak genap 3 tahun lagi itu bukanlah waktu yang lama bagi elit politik negri ini, kita tahu bagaimana sepak terjang Golkar dengan icalnya pada piala AFF kemaren yang itu ternyata hanya sebagi ajang kampanye politik untuk menarik simpati para pemuda Indonesia (membangun opini public dengan politik pencitraan), memang tidak terang-terangan atas nama Golkar, tetapi dibelakang ical yang lahir di Jakarta, 15 November 1946 bernama lengkap Aburizal Bakrie tersebut ada seonggok kepentingan Golkar yang harus diperjuangkan.
Dengan kekuatan uangnya akhirnya sampai-sampai dana sebesar Rp 3 miliar untuk Tim Nasional Indonesia dari Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie akan digunakan untuk pembinaan pemain usia muda, belum cukup sampai disana rekam jejak  ical, seperti kasus lumpur lapindo sejak tanggal 29 Mei 2006 sampai hari inipun sudah 4 tahun juga belum ada perkembangan yang lebih baik dan kasus pajak ical juga belum selesai-selesai, bahkan ada korban lumpur lapindo sampai hari ini masih banyak yang belum dapat ganti rugi.
“publik hanya akan melihat hasil akhir dari upaya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengkaji kembali SP3 yang dikeluarkan Kapolda Jawa Timur terkait dugaan pidana dalam kasus semburan lumpur Lapindo. “Kita patut meragukan komitmen SBY dalam pemberantasan praktik mafia hukum selama pemerintah tidak mendesak pertanggungjawaban Ical terkait kasus Lapindo yang telah menyedot anggaran hukum dalam jumlah besar. Saya siap menarik kembali pernyataan ini, dan saya bersedia menyampaikan permohonan maaf jika di kemudian hari SBY terbukti mampu menegakkan keadilan dengan menginstruksikan aparat penegak hukum untuk meneruskan penyelidikan terhadap dalang kasus Lapindo,” ujar Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, di Jakarta, Jumat (28/5) sumber primaironline.com.  
Sedangkan sudah jelas beberapa kebohongan  Lapindo Brantas tentang semburan lumpur lapindo, 1)Dampak terus meluas namun Perpres tidak memfasilitasi, 2)Pembayaran yang tak kunjung usai, 3)Lumpur mengandung kimiawi dan logam berat namun lumpur dinyatakan tidak berbahaya, 4)Lapindo tidak responsif, 5)Luapan lumpur adalah bencana alam, 6)Pelanggaran RT/RW Sidoarjo, 7)Dana talangan APBN padahal Perpres 14/2007 pemerintah yang menanggung, 8)Lumpur aman dibuang ke Kali Porong. Sumber siaran Pers JATAM – WALHI.
 SBY dengan pemerintahannya juga tidak bisa bertindak apa-apa selain menambah masalah dengan melibatkan Negara ikut serta dalam pendanaan hingga Rp 2,8 triliun, PT Lapindo Brantas Inc. (LBI) telah mengeruk dana Rp 2,8 triliun dari APBN untuk menangani tragedi luapan lumpur di kawasan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur tersebut. LBI sendiri mendapat persetujuan Presiden melalui Peraturan Presiden No. 14/2007 tanggal 31 Maret 2007 tentang Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Badan tersebut membuat LBI lepas tangan atas pembangunan infrastruktur dan masalah sosial yang timbul seputar luapan lumpur tersebut. Sehingga sejak 2006 sampai 2010, negara telah mengeluarkan Rp 2,8 triliun untuk menalangi LBI. Rinciannya, dari APBN 2006 sebesar Rp 6,3 miliar. APBN 2007 Rp 144,8 miliar. Dari APBN 2008 Rp 513,1 miliar. Dari APBN 2009 Rp 592,1 miliar. Sementara dari APBN 2010 sebesar Rp 1.216 miliar dan dari APBN perubahan Rp 205,5 miliar. "Anggaran APBN ini bukan saja untuk memperbaiki infrastruktur publik yang rusak akibat lumpur panas,tetapi juga untuk alokasi anggaran ganti rugi dari pemerintah kepada masyarakat, seharusnya LBI tidak begitu saja lepas tangan atas kasus ini, dan seharusnya pemerintah tidak terlalu lemah digerogoti LBI dalam kasus ini.
Jika kita runut sedikit kasus lapindo antara ical dan SBY lebih kurang seperti ini, yaitu SBY “masih berhutang dengan ical” dan ical sang pengusaha besar tidak mau menghabiskan kekayaanya hanya untuk ganti rugi, maka sudah pasti konsekuensinya adalah menuruti kepentingan ical dengan cara membuat kebijakan yang pro dan membantu masalahnya ical,  dari kebijakan SBY untuk mengambil alih masalah ical agar diklaim masalah nasional.
Ical dan Gayus “simbiosis mutualisme” dalam pertarungan kepentingan
Setelah ada berita Gayus yang ikut nonton pertandingan tenis internasional di Bali Senin, 8 November 2010. Dan ada tv swasta yang mengangkat kasus miring tersebut kemedia, kita tahu bahwa secara penguasaan tidak dalam gengaman saham bakrie atau jelasnya tv tersebut adalah milik suatu kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh, yang jika ditelusuri dari rekam jejaknya adalah barisan sakit hati dari Golkar. Walaupun banyak pihak yang berusaha menyelesaikan kasus mafia pajak tersebut akhirnya juga tidak begitu berkutik dan hanya sebatas gertakan saja, tetapi tidak berani lebih terang-terangan lagi dalam memberantas berbagai permasalahan antara Gayus dan ical ini, karena bnyak pihak yang sebenarnya adalah dalam skema dan konsep yang sama atau terjebak dalam lingkaran setan. Akhirnya hanya berputar-putar disana saja tidak bisa keluar lebih jauh untuk meneyelesaikan masalah tersebut.
Banyak contoh hal yang sudah diketahui oleh public dalam usaha murni untuk membongkar masalah ruwet ini, tetapi tetap aja ada yang menghalang-halangi usaha tersebut, seperti usaha reformasi hukum dalam membongkar kasus-kasus besar tetapi apa yang terjadi? Tetap saja jika tidak punya bekingan yang kuat oleh persatuan gerakan rakyat tanpa politisasi, akhirnya akan kalah dalam permainan besar ini.
Penegakan hukum berakhir barter materi
Terlalu banyak kritik terhadap kinerja penegak hukum di indonesia ini akhirnya malah tidak menyelasaikan dalam penegakan hukum tetapi semakin pintarnya mafia hukum yang berani mencari jalan keluar untuk mendapat keuntungan dibalik masalah-masalah yang dihadapi negri ini.
Dari catatan KPK tahun 2004, pelaku korupsi terbanyak adalah legislatif sebanyak 37%, disusul kemudian pejabat dinas pemda sebanyak 18%, eksekutif 15%, pimpro, parpol, dan kepolisian masing-masing 10%, 3%, dan 2%. Catatan KPK ini tidak berbeda jauh dengan hasil analisis ICW dari Januari-Juni 2006 yang menyebutkan bahwa dana APBD paling banyak dikorupsi mencapai 33,57% kemudian disusul sektor pertanahan dan perumahan sebanyak 12,14% dan pilkada sebanyak 7,14%. Lebih lanjut dalam analisanya ICW menyebutkan bahwa sektor yang paling besar penyimpangannya adalah pemerintah daerah (40,71%) dan DPRD (20,71%). Sedangkan dari pemetaan tingkat administratif, korupsi paling banyak terjadi di daerah kabupaten (34,29%), nasional (25,71%), propinsi (20,71%) dan kota (19,29%)
Kuatnya kelompok kepentingan yang bermain dalam penegakan hokum ini, menjadi hal yang biasa khususnya di daerah-daerah yang kaya. Barter kepentingan antar lembaga menjadi alternatif penyelesaian sengketa hukum. Kompromi politik atau imbalan materi menjadi alat barter kepentingan tersebut. Apalagi itikad penegakan hukum sudah didasari kepentingan untuk melakukan barter kepentingan. Ibaratnya ada penjual ada pembeli. Kalau sudah demikian hukum sudah menjadi alat dan mengabdi pada kepentingan kekuasaan sehingga penanganan kasus korupsi itu tidak jelas ujung pangkalnya.
Dan tidak mengherankan pula jika di kemudian hari, ketika kekuasaan dan materi sebagai komoditas barter dalam penegakan hukum sudah tidak dipegang/dikuasai lagi. Artinya dalam hal ini hukum yang harusnya tegak untuk semua, ternyata tidak berlaku bagi penguasa, karena hukum masih dipakai sebagai alat untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan dan ketika kekuasaan berpindah tangan, hukum ikut berpindah pula. Semoga tidak.

















*  Dedi Hartono adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang menjabat sebagi Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Komisariat UIN.

Mahmoud Ahmadinejad, Presiden yang layak diteladani.



Presiden Iran saat ini: Mahmoud Ahmadinejad, ketika di wawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya:

"Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?"
Jawabnya: "Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya: "Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran ."

Berikut adalah gambaran Ahmadinejad, yang membuat orang ternganga dan terheran-heran :

1. Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan Ia menyumbangkan seluruh karpet Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu kepada masjid2 di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.

2. Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP,lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive.





3. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya.

4. Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta menteri2 nya untuk datang kepadanya dan menteri2 tsb akan menerima sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan2 darinya, arahan tersebut terutama sekali menekankan para menteri2nya untuk tetap hidup sederhana dan disebutkan bahwa rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi, sehingga pada saat menteri2 tsb berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak.

5.. Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran.

Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu2nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya.

6. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250.

7. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya.

Hanya itulah yang dimilikinyaseorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan.

Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya.

8. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira, ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.



9. Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan Pesawat Terbang Kepresidenan, ia mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak masyarakat dan untuk dirinya, ia meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi.

10. Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri2 nya untuk mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang sdh dilakukan, dan ia memotong protokoler istana sehingga menteri2 nya dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa ada hambatan.

Ia juga menghentikan kebiasaan upacara2 seperti karpet merah, sesi foto, atau publikasi pribadi, atau hal2 spt itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya.

11. Saat harus menginap di hotel, ia meminta diberikan kamar tanpa tempat tidur yg tidak terlalu besar karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut.

Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden?
Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari pengawal2nya yg selalu mengikuti kemanapun ia pergi.

Menurut koran Wifaq, foto2 yg diambil oleh adiknya tersebut, kemudian dipublikasikan oleh media masa di seluruh dunia, termasuk amerika.



12. Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling muka



13. Bahkan ketika suara azan berkumandang, ia langsung mengerjakan sholat dimanapun ia berada meskipun hanya beralaskan karpet biasa



14. baru-baru ini dia baru saja mempunyai Hajatan Besar Yaitu Menikahkan Puteranya. Tapi pernikahan putra Presiden ini hanya layaknya pernikahan kaum Buruh. Berikut dokumentasi pernikahan Putra Seorang Presiden



Lihat aja makanannya cuman ada Pisang,Jeruk,Apel







Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Paling Miskin di Dunia dan Patut dijadikan Teladan - www.Whooila.com |

Biografi Soeharto

Obituary:
SUHARTO (8 June 1921- 27 January 2008)
Seorang Militer Karir yang Memerintah sebuah Negara
Oleh: John Roosa
Tidak suka bicara, tidak terbuka, suka menyendiri, tanpa emosi, Suharto memerintah Indonesia selama 32 tahun sebagai seorang misterius, seorang diktator yang tampil sebagai tokoh tanpa wajah, yang tidak menonjol di dalam suatu pemerintahan yang a-politis. Pidato-pidatonya menjemukan, mudah terlupakan, penuh dengan kata-kata birokrat yang menjemukan, klise-klise yang usang, dan nasehat-nasehat yang saleh. Tidak ada satu pun pernyataannya yang bisa membuat orang terkenang padanya sekarang. Orang Indonesia, jika ditanya, akan sia-sia berusaha mengingat suatu kutipan pun yang berasal dari dia, sedangkan di lain pihak, bahkan anak muda bisa mengutip kata-kata Sukarno, presiden yang digulingkannya pada tahun 1965. Suharto meninggalkan kenangan tanpa kata.
Jarang diwawancarai, tapi sering dipotret, ia dikenang dari sebuah gerak tubuh: senyum. Begitulah ia ingin dikenal: biografi yang disuruhnya buat pada tahun 1969 berjudul: “Jenderal yang Tersenyum”. Itu adalah senyum “kucing Cheshire”(*), terpaku di tempatnya, menyembunyikan sesuatu, tidak mengungkapkan isi hatinya, dan menimbulkan tanda-tanya tentang intrik-intrik dan kekerasan apalagi yang tengah disulap di dalam otak yang ada di baliknya.
————
(*) “Cheshire cat”, kucing yang diceritakan dalam kisah khayalan terkenal, “Alice’s Adventures in Wonderland”, karya Lewis Carroll. Kucing itu bisa muncul dan lenyap sesuka hati; akhirnya ia berangsung-angsur lenyap dan hanya tinggal senyumnya saja, sehingga Alice berkata: “Saya sering melihat kucing tanpa senyum, tapi belum pernah melihat senyum tanpa kucing.”
————-
Orang tua Suharto merupakan misteri. Dalam “otobiografi”-nya, yang ditulis oleh orang yang paling bertanggung-jawab atas pembentukan citra publiknya, G. Dwipayana, Suharto mengklaim bahwa ia dilahirkan di kalangan petani miskin di desa Kemusuk di dekat Yogyakarta. Sebuah majalah yang dimiliki oleh bos intelijen militer yang dipercayanya mengklaim pada tahun 1974, bahwa ayahnya seorang ningrat. Dalam sebuah jawaban yang mungkin disiapkan lebih dulu, Suharto mengundang wartawan ke ruang kerjanya di istana kepresidenan untuk menjelaskan garis keturunannya dan mengajukan saksi-saksi yang dapat menguatkan bahwa ia sungguh-sungguh orang yang baik, jujur dan dapat dipercaya. Sekalipun ia menyanggah, garis keturunannya tetap diragukan. Di kalangan orang Indonesia tersebar luas cerita bahwa ia anak tidak sah dari seorang pedagang Cina.
Karir yang menyenangkan
Apa pun asal-mulanya dan pengalaman masa kanak-kanaknya, di masa dewasa ia jelas adalah seorang militer karir. Ia masuk militer Belanda pada tahun 1940, yang merupakan peristiwa yang dalam “otobiografi”-nya dikatakannya sebagai “kunci yang membuka pintu kepada sebuah kehidupan yang menyenangkan”. Kehidupan menyenangkan yang terdiri dari baris-berbaris dan latihan itu berlanjut pada masa pendudukan Jepang, ketika ia menjadi anggota milisi Peta. Seperti anggota milisi lain, ia bergabung dengan tentara nasional Indonesia yang baru dibentuk begitu militer Jepang menyerah pada Agustus 1945. Tidak dimungkinkan lagi untuk kembali mengabdi pada Belanda, karena Belanda telah dilucuti kekuasaan dan kekayaannya oleh Jepang dan menjalani tahun-tahun perang di dalam kamp-kamp konsentrasi yang kotor dan tidak nyaman.
Berkat latihan militer yang pernah diikutinya, Suharto diberi pangkat tinggi (letnan kolonel) dalam tentara Indonesia yang baru itu, yang dibentuk untuk melakukan perang gerilya melawan tentara Belanda yang datang kembali. Pada tahun 1948 ia telah menjadi komandan sebuah brigade pasukan yang ditempatkan di dalam dan di sekitar Yogyakarta, ibukota Republik. Serangan-serangan gerilya tentara itu tidak banyak bermanfaat dalam menghambat kemajuan pasukan Belanda.
Sekalipun lebih menguasai medan di kandang sendiri, Suharto dikejutkan pada 19 Desember 1948 ketika pasukan Belanda menyerbu Yogyakarta dan menguasainya pada hari yang sama tanpa menghadapi perlawanan sedikit pun. Entah bagaimana, keempat batalyon Suharto sedang berada di luar kota. Itu merupakan kemunduran terburuk bagi Republik: kedua orang pimpinan tertingginya, Sukarno dan Hatta, tertawan.
“Politik saya terletak di ujung bayonet.”
Suharto mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri ketika ia memimpin sebuah serangan terhadap kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Serangan itu hanya menimbulkan kerusakan kecil di kalangan pasukan Belanda yang menduduki kota itu dan dipukul mundur dalam waktu enam jam. Namun, Suharto dan para komandan militer lain mengklaim bahwa mereka telah menguasai kota untuk sementara waktu dan membuktikan kehebatan angkatan bersenjata Republik kepada dunia. Setelah Suharto berkuasa pada tahun 1965, peristiwa itu disulap menjadi kemenangan yang menentukan dalam perang kemerdekaan, dan dibuatlah film tentang peristiwa itu, “Janur Kuning” (1979), dan di kota Yogya didirikan sebuah monumen besar untuk mengenangnya (1985).
Sebagai orang yang pernah bekerja dalam tiga tentara yang berbeda dalam kurun waktu satu dasawarsa, Suharto mempunyai komitmen politik yang enteng. Salah satu kolega militernya belakangan berkata pada seorang wartawan, bahwa pada tahun 1948 Suharto pernah berkata, “Politik saya terletak di ujung bayonet.” Tidak heran bahwa Sukarno dan menteri pertahanannya yang berhaluan kiri memasukkan komisaris politik di dalam tentara. Seperti banyak tentara yang dilatih di bawah perwira Belanda dan Jepang, Suharto tidak punya pengalaman didalam gerakan nasionalis populer yang telah berjuang melawan imperialisme.
Menapak jenjang kepangkatan
Setelah kemerdekaan tercapai dalam tahun 1949, Suharto menanjak pangkatnya: kolonel, brigadir jenderal, mayor jenderal. Ia pernah mengalami kemunduran pada tahun 1959, ketika ia diberhentikan sebagai komandan tentara di Jawa Tengah karena korupsi. Tetapi peristiwa itu ditutupi dan ia direhabilitasi dengan cepat. Ia ditugasi memimpin operasi merebut Irian Barat dari Belanda pada tahun 1962 – operasi itu dihentikan pada saat terakhir dengan tercapainya kesepakatan diplomatik. Ia lalu dipindahkan ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai komandan cadangan angkatan darat, Kostrad, pada tahun 1963. Dengan catatan karir yang tidak menonjol, pendidikan yang rendah, dan tidak menguasai bahasa asing, pada tahun 1965 ia menjadi calon utama untuk menduduki jabatan tertinggi di angkatan darat, dan bertindak menggantikan panglima angkatan darat, Yani, bila ia pergi keluar negeri.
Suharto naik ke puncak militer yang kemudian menjadi semacam negara di dalam negara, memiliki komandan teritorial, yang pada mulanya didesain untuk pertahanan terhadap invasi asing, tetapi kemudian memerintah masyarakat sipil.
Kebanyakan dari jenderal-jenderal lain, termasuk yang paling senior, A.H. Nasution, sangat anti-komunis dan bertekad menahan kekuatan PKI yang tengah meningkat pada awal 1960an. Untuk menandingi partai itu, mereka pun membentuk serikat buruh, perhimpunan seniman, dan surat kabar. Mereka berhubungan dengan organisasi-organisasi keagamaan dan partai-partai politik, dan meyakinkan mereka bahwa bila perlu militer akan menggunakan kekerasan terhadap PKI.
Suharto tidak secara jelas memihak pada salah satu pihak. Seorang mantan anggota PKI di parlemen mengatakan kepada saya, bahwa DN Aidit, ketua PKI, pada awal 1965 mengira bahwa Suharto seorang perwira yang “demokratis” oleh karena ia mendukung pengakhiran SOB (keadaan perang) pada tahun 1963. Tetapi Suharto juga berhubungan dengan golongan anti-komunis dalam usaha tertutupnya untuk mengerem kampanye anti-Malaysia Sukarno yang dimulai pada tahun 1963.
Hari yang beruntung baginya
Duduk di pinggiran ternyata membawa Suharto pada puncak kekuasaan. Ketika para perwira militer yang pro-PKI dan pro-Sukarno memutuskan bertindak terhadap para perwira saingan mereka, mereka beranggapan Suharto akan mendukung mereka. Sekelompok perwira junior mengorganisir penculikan tujuh jenderal angkatan darat pada 1 Oktober 1965. Dua di antara komplotan itu adalah sahabat dekat Suharto, dan seorang di antaranya menceritakan kepada Suharto rencana komplotan itu sebelum terjadi. Para penculik, yang menamakan diri Gerakan 30 September, akhirnya membunuh enam jenderal, termasuk di antaranya panglima angkatan darat, Yani. Itu adalah hari yang menguntungkan bagi Suharto. Dengan absennya Yani, ia menjadi panglima angkatan darat. Gerakan 30 September tidak diotaki oleh Suharto tetapi peristiwa itu justru memberi kesempatan baginya untuk mencapai cita-citanya.
Sebagai komandan militer, Suharto mulai menentang perintah-perintah presiden dan menerapkan agenda yang sejak lama dimiliki oleh para perwira anti-komunis, yakni mengurangi pengaruh Sukarno sehingga menjadi presiden tanpa kekuasaan, menghancurkan PKI, dan menegakkan kediktatoran militer. Sikap anti-komunis Suharto bukan berasal dari komitmen ideologis yang mendalam.
Seandainya Gerakan 30 September berhasil dan kaum komunis meraih kekuasaan lebih besar, kita bisa dengan mudah membayangkan bagaimana Suharto yang selalu oportunistik itu menyesuaikan diri dengan rejim yang baru. Ia adalah perwira yang biasa dan sama sekali tidak menonjol, sehingga pada minggu-minggu pertama Oktober itu banyak pengamat mengira bahwa ia sekadar mengikuti pimpinan Nasution.
Kudeta merangkak
Menyingkirkan Presiden Sukarno ternyata tidak terlalu sulit. Tokoh besar nasionalisme Indonesia, “penyambung lidah rakyat”, terus-menerus memprotes, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk menyetop meriam Suharto. Ia menguatkan Suharto sebagai panglima angkatan darat, menaikkan pangkatnya, dan memberinya kekuasaan darurat. Puncak dari kudeta merangkak terjadi pada Maret 1966, ketika Suharto menggunakan perintah yang kata-katanya samar tentang “menjamin keamanan” dari Sukarno sebagai justifikasi untuk menangkap 15 menteri dan membubarkan kabinet Sukarno–seolah-olah presiden memerintahkan penggulingan dirinya sendiri.
Penghancuran PKI–prakondisi untuk menerapkan suatu kebijakan politik baru yang didominasi militer–ternyata juga tidak terlalu sulit. Pimpinan PKI, yang kalang kabut setelah 1 Oktober, menyerukan kepada para anggotanya untuk tidak melawan supaya Presiden Sukarno dapat mengatur suatu pemecahan politis terhadap krisis itu. Tetapi presiden tidak berkuasa atas tentara Suharto. Bekerja sama dengan milisi sipil, tentara mengorganisir sebuah pertumpahan darah yang paling buruk dari abad ke-20, menangkap lebih dari sejuta orang, lalu dengan diam-diam membunuh banyak di antara mereka. Tahanan-tahanan lenyap di waktu malam. Kuburan-kuburan massal terisi mayat-mayat yang tak terhitung banyaknya tersebar tanpa tanda di seluruh Sumatra, Jawa dan Bali.
Tidak ada dokumen yang membuktikan bahwa Suharto memerintahkan satu pembunuhan pun. Dalam beberapa kesempatan yang jarang, ketika ia berbicara tentang pembunuhan-pembunuhan itu pada tahun-tahun belakangan, ia menyalahkan orang-orang sipil yang mengamuk. Penyelidikan yang saksama terhadap siapa, di mana, kapan dan bagaimana berkaitan dengan pembunuhan-pembunuhan itu mengungkapkan bahwa militerlah yang paling bertanggung-jawab dan bahwa Suharto setidak-tidaknya menyetujuinya, kalau bukan ia yang memberikan perintah lisan atau tertulis yang eksplisit untuk melakukannya.
Wortel & cemeti
Dalam merebut kekuasaan, Suharto dan perwira-perwira militer kliknya menyadari bahwa stabilitas jangka panjang dari kekuasaan mereka akan bergantung pada kemampuan mereka untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat. Mereka berpaling pada bantuan, penanaman modal dan pasar luar negeri untuk memberikan rangsangan utama bagi pertumbuhan ekonomi. Modal Barat yang memboikot Indonesia karena kebijakan politik Sukarno dulu mendapati permadani selamat datang terhampar menyambut mereka. Suharto sendiri campur tangan pada akhir 1965 untuk menghentikan usaha menteri perindustrian Sukarno untuk menasionalisir sektor minyak. Dengan kampanye teror militer terhadap serikat buruh di ladang-ladang minyak, kebun-kebun karet, dan pabrik-pabrik, modal Barat memperoleh tenaga kerja yang patuh.
Salah satu alasan bagi kemampuan Suharto yang mencolok untuk mempertahankan kekuasaan begitu lama adalah kebijakannya memperluas kesempatan kerja di sektor publik. Pada akhir kekuasaannya, 4,6 juta orang mendapat gaji dari pemerintah, tiga kali lebih banyak daripada pada awal tahun 1970an. Jutaan orang lagi merupakan tanggungan para pegawai makan gaji ini. Jaminan gaji bulanan itu menarik, sekalipun pendapatannya rendah. Di samping itu, sejumlah jabatan di pemerintahan memungkinkan orang untuk mendapat lebih banyak uang dengan korupsi.
Para pegawai negeri ini beserta sanak keluarganya merupakan basis pendukung kunci bagi rejim ini, dengan memberikan suara dan berkampanye bagi partai pemerintah, Golkar, pada setiap pemilihan umum. Mereka yang tidak memilik Golkar dipersalahkan karena menggigit tangan yang memberi mereka makan, dan kehilangan kesempatan untuk naik pangkat.
Tanggapan Suharto terhadap pembangkangan–menggunakan bahasa sekarang–adalah ‘gertak & bikin takut’. Di Papua, ia menempatkan tentara pendudukan yang memperlakukan penduduk asli sebagai lebih rendah dari manusia, yang harus ditundukkan dengan kekerasan. Selama bertahun-tahun, satu-satunya wajah Indonesia yang dilihat oleh orang Papua adalah tentara. Suharto bertanggung jawab bagi puluhan ribu orang Papua yang tewas dalam perang melawan pemberontakan dari akhir 1960an sampai 1998. Ia juga bertanggung jawab atas perang agresi terhadap Timor Timur pada tahun 1975, dan atas terbunuhnya lebih dari 100 ribu orang di sana akibat perang di separuh pulau itu. Ia juga bertanggung jawab atas terbunuhnya ribuan orang di Aceh yang juga merupakan korban perang melawan pemberontakan (1990-98), yang didesain untuk meneror penduduk sipil agar tidak mendukung gerilya, dan bukan menawarkan alternatif
yang lebih positif kepada warga sipil.
Suharto dengan keras kepala berpegang pada strateginya bahkan setelah terbukti kontra-produktif, ketika teror yang dilancarkan di Papua, Timor Timur dan Aceh menghasilkan lebih banyak perlawanan yang meluas. Hanya setelah Suharto jatuh, para politisi Indonesia mendapat kesempatan untuk mengupayakan pemecahan politis & diplomatis yang lebih manusiawi terhadap perang-perang ini: Presiden Habibie mengizinkan suatu referendum yang dilaksanakan oleh PBB di Timor Timur pada tahun 1999, dan Presiden Yudhoyono menandatangani perjanjian perdamaian dengan kaum nasionalis Aceh pada tahun 2005.
‘Program Ponzi’(*) raksasa itu pun ambruk
Dalam menilai pemerintahan Suharto, apa yang disebut pendekatan “seimbang” dari banyak sarjana Barat adalah mengkritisi Suharto tentang pelanggaran-pelanggaran HAM-nya, tetapi memuji kinerja ekonomisnya. Mereka yang terkesan oleh pertumbuhan enam persen setahun tidak berbeda dengan para investor yang mudah dikibuli dalam suatu ‘Program Ponzi’(*) raksasa, yang yakin bahwa penghasilan tinggi yang terlihat di permukaan merupakan bukti tak terbantahkan dari sebuah sukses. Pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun Suharto sebagian besar dihasilkan dengan menjual secara liar sumberdaya-sumberdaya alam negeri itu. Itu adalah pertumbuhan yang memakan dirinya sendiri, dan yang tak mungkin akan lestari.
Sektor-sektor utama adalah minyak dan kayu. Keduanya mengalami salah urus yang hebat karena korupsi. Pada hari ini Indonesia secara bersih adalah negara pengimpor minyak dan hutan-hutannya menghilang dengan cepat, dibabat oleh para logger atau dibakar oleh pemilik perkebunan kelapa sawit. Pendapatan dari semua ekspor itu tidak diinvestasikan kembali ke dalam sektor-sektor lain; uang itu lenyap masuk rekening bank dari keluarga Suharto & para kroninya (seperti Bob Hasan), dan para pejabat pemerintah.
—————
‘Program Ponzi’ : suatu operasi investasi palsu & kriminal, yang di situ para penanam modal awal mendapat hasil (“laba”) yang sangat besar yang dibayar dari investasi oleh para penanam modal yang datang belakangan, dan bukan dari hasil bersih yang berasal dari kegiatan bisnis yang benar.
—————
Setelah tiga dasawarsa pertumbuhan ekonomi a la Suharto, pemerintah Indonesia dibebani hutang banyak, dan perekonomian Indonesia tidak memiliki basis industri yang didanai dari dalam negeri. Sungguh pas kalau Suharto, yang pengikut-pengikutnya memujinya sebagai “Bapak Pembangunan”, meninggal dunia di rumah sakit yang dimiliki oleh perusahaan minyak negara (Pertamina) yang oleh keluarganya dan kroninya (seperti Ibnu Sutowo) diperas habis-habisan.
Rejim Suharto hidup dari modal asing dan mati karena modal asing. Liberalisasi sektor keuangan yang didesakkan oleh A.S. kepada Indonesia supaya dianut pada awal 1990an berakibat kerentanan yang lebih besar terhadap perubahan mendadak dalam aliran modal internasional. Uang mengalir masuk ke dalam gerombolan kleptokrat Suharto dan bank-banknya yang palsu, lalu tiba-tiba mengalir keluar lagi. ‘Program Ponzi’ raksasa itu pun runtuh dengan terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997. Satu-satunya legitimasi yang dimiliki oleh Suharto adalah apa yang seolah-olah tampak merupakan kemampuannya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomis. Begitu itu berakhir, maka kelas menengah yang biasanya menurut saja membalik terhadapnya, tidak mau mentolerir korupsinya, anak-anaknya yang serakah dan kroni-kroninya yang sangat immoral mencolok kekayaannya. Gerakan yang secara spontan terbentuk bagi “reformasi” ini menyatakan musuh utama mereka adalah KKN: Korupsi, Kolusi & Nepotisme. Kampanye keluarga Suharto sendiri, “Saya Cinta Rupiah”, yang datang dari mereka yang justru punya dollar paling banyak, tidak mempunyai bobot yang sama dengan slogan gerakan itu.
Segudang paranormal yang dimiliki keluarga itu tidak bisa menyelamatkan mereka; tidak pula jenderal-jenderal penjilat mereka, bahkan tidak Letnan Jenderal Prabowo, menantu Suharto yang menguasai pasukan elite di Jakarta, dan yang selalu bergelimang uang dari saudaranya yang memiliki satu-satunya pabrik baja di negeri itu. Suharto lengser pada 21 Mei 1998, ketika Jakarta masih mengepulkan asap bekas kerusuhan misterius, yang di situ toko-toko yang dimiliki oleh orang-orang Indonesia keturunan Cina dibakar.
Mr. Minus
Mungkin yang terbaik dapat dikatakan tentang 32 tahun pemerintahan Suharto ialah bahwa salah-salah keadaannya bisa lebih buruk dari sekarang. Ia tidak memilih strategi jenderal-jenderal Burma dan mengisolasi negeri ini. Bergantung pada modal asing, ia rentan terhadap tekanan internasional. Pelepasan puluhan ribu tahanan politik pada akhir 1970an sebagian besar disebabkan oleh tekanan dari luar negeri. Ia tidak memilih untuk mencari legitimasi dirinya melalui agama dan menerapkan hukum Islam. Negara Indonesia sebagian besar tetap sekuler. Ia tidak memupuk kultus pribadi di seputar dirinya. Ketika menghadapi protes massal pada tahun 1998, ia tidak memilih mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.
Almarhum sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang menjadi tahanan politik Suharto selama 14 tahun, pernah menulis bahwa ia tidak bisa memaksa dirinya menulis tentang rejim Suharto. Sementara ia menulis banyak novel historis tentang Jawa di zaman pra-kolonial dan gerakan nasionalis Indonesia, ia berpendapat tidak ada apa-apa yang menarik untuk ditulis tentang orang yang bertanggung jawab memenjarakannya dan melarang buku-bukunya itu. Baginya, Suharto adalah suatu negativitas, apa yang dinamakannya suatu “minus X”, suatu kemunduran kembali ke zaman para aristokrat kolonial, yang menindas bawahan mereka bagi kepentingan bisnis Eropa, namun membusungkan dada memamerkan kekuatan kosmik mereka yang hebat, dan tetap berpandangan sempit dan tidak peduli terhadap sains dan seni dari Eropa yang telah menaklukkan mereka. Tidak diragukan bahwa beberapa orang akan mengingat Suharto bagi beberapa hal yang positif, tetapi sementara Indonesia berjuang mengatasi warisannya yang buruk, kita bertanya-tanya, apakah orang bisa menilai gelarnya sebagai “Bapak Pembangunan” itu sebagai sesuatu yang sahih selain sebagai sebuah guyonan yang
kejam.***
Sumber: http://insideindonesia.org/content/view/1042/47/

Tidak ingin ketinggalan informasi?

Setiap ada artikel baru, otomatis diinformasi- kan ke email Anda. Ketik Alamat Email Anda Disini, GRATIS

Ikuti Blog Proletar di FACEBOOK : @Proletar

Entri Populer

 
Top
http://blogproletar.blogspot.com
The articles are copyrighted to Blog proletar | About me | Informasi Proletar
Site Meter