berlawan

Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948, Peristiwa Sumatera 1956Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948, Peristiwa Sumatera 1956 D.N. Aidit (1957)

Posted on 8:26 AM by Blog Proletar

Tulisan ini adalah pidato Kawan D.N. Aidit di dalam Sidang DPR tanggal 11
Februari 1957 menjawab keterangan anggota DPR Udin Sjamsudin (Masyumi) yang
mencoba menutupi maksud-maksud kontra-revolusioner dari "dewan-dewan partikelir"
di Sumatera dengan menyinggung-nyinggung soal Peristiwa Madiun.
Dengan pidato Kawan D.N. Aidit ini masyarakat dapat mengetahui dengan lebih
jelas lagi hakekat Peristiwa Madiun, suatu provokasi reaksi yang dilancarkan
oleh Hatta dan arti pemberontakan kontra-revolusioner gerombolan Simbolon dan
Ahmad Husein yang satu tahun kemudian mencapai puncaknya dengan
diproklamasikannya "Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" di Padang oleh
gembong-gembong Masyumi-PSI seperti Syafruddin Prawiranegara dan Sumitro
Jojohadikusumo.
Dengan tulisan ini Rakyat Indonesia sampai sekarang mempunyai tiga dokumen
penting tentang Peristiwa Madiun yaitu : Buku Putih tentang Peristiwa Madiun
yang diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, Menggugat Peristiwa Madiun dan
Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 -- Peristiwa Sumatera (1956)
Komisi Pilihan Tulisan
D.N. Aidit dari CC PKI.
Terlebih dulu saya ingin menyatakan bahwa Pemerintah Ali-ldham dalam
keterangannya pada tanggal 21 Januari dan dalam jawabannya pada pandangan umum
babak pertama pada tanggal 4 Februari jl. bisa membatasi diri pada persoalannya,
yaitu tentang kejadian-kejadian di Sumatera dalam bulan Desember 1956. Hal ini
dapat saya hargai dan tentang ini kawan-kawan sefraksi saya sudah menyatakan
pendapat Fraksi PKI.
Pada pokoknya pendapat kami mengenai kejadian-kejadian di Sumatera dalam bulan
Desember tahun jl. Adalah sbb. :
Pertama : Kejadian-kejadian di Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera
Selatan adalah rentetan kejadian yang sengaja ditimbulkan oleh sebuah partai
kecil yang kalah dalam pemilihan umum jl. yang berhasil mendalangi sebuah partai
besar dan oknum-oknum liar, yang tidak melihat kemungkinan dengan jalan
demokratis dapat duduk kembali dalam kekuasaan sentral, dan yang hanya melihat
kemungkinan dengan jalan menggunakan saluran partai-partai lain, dengan jalan
mempertajam pertentangan antara partai-partai agama dengan PKI dan PNI, dengan
bikin-bikinan menimbulkan kemarahan Rakyat di daerah-daerah supaya memberontak
terhadap Pemerintah Pusat, dengan jalan mengadudomba suku satu dengan suku
lainnya dan dengan jalan menghasut orang-orang militer supaya memberontak kepada
atasannya.
Kedua : Kejadian-kejadian tersebut terang sejalan dan berhubungan dengan rencana
kaum imperialis, yang dipelopori oleh Amerika Serikat untuk menarik Indonesia
kedalam pakt militer SEATO. Rencana-rencana dari pemberontak di Sumatera untuk
memisahkan Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat dan untuk mendirikan
negara sendiri yang mempunyai peralatan sipil dan militer sendiri, yang
mempunyai hubungan luar negeri sendiri, adalah sepenuhnya sejalan dengan rencana
Amerika Serikat yang diatur oleh Pentagon (Kementerian Pertahanan) dan State
Department (Kementerian Luar Negeri) Amerika Serikat, oleh "jendral-jendral"
DI-TII dan oleh aparat-aparat serta kakitangan-kakitangan Amerika Serikat yang
ada di Indonesia.
Jadi, persoalannya adalah jelas, yaitu kepentingan vital Rakyat Indonesia di
satu pihak berhadapan langsung dengan kepentingan kaum imperialis asing di pihak
lain. Dalam hal ini Pemerintah Ali-Idham menyatukan diri dengan kepentingan
Rakyat Indonesia, dan oleh karena itu PKI tidak ragu-ragu berdiri di pihak
Pemerintah dan melawan kaum pemberontak serta aktor-aktor intelektualisnya.
Demikianlah, kalau mengenai persoalannya. Jelas dimana kami berdiri, dan jelas
pula dimana pihak lain berdiri. Tetapi, disamping pemerintah dapat membatasi
diri pada persoalan yang sedang dihadapi, anggota yang terhormat Udin Syamsudin
telah membawa-bawa Peristiwa Madiun, dengan maksud mengaburkan persoalan.
Dalam Soal Peristiwa Madiun Kaum Komunis Adalah Pendakwa
Anggota tersebut telah menyebut-nyebut Peristiwa Madiun dalam hubungan dengan
Peristiwa Sumatera, antara lain dikatakannya "pelopor pemberontakan di Indonesia
ini setelah Indonesia Merdeka adalah Partai Komunis Indonesia", selanjutnya
"kaum Komunislah yang menjadi mahaguru pemberontakan" dan "bibitnya sudah
menular ke seluruh Indonesia". Maksud pembicara tersebut jelas, yaitu supaya
dalam soal pemberontakan Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Ahmad Husein juga
PKI yang disalahkan. Lihatlah, betapa tidak tahu malunya orang mencari kambing
hitamnya, sama dengan tidak tahu malunya mereka menyalahkan PKI dalam hubungan
dengan Peristiwa Madiun.
Saya tidak membantah, bahwa baik Peristiwa Madiun maupun Peristiwa Sumatera
mempunyai satu sumber dan satu tujuan, yaitu bersumber pada imperialisme Amerika
dan Belanda dan bertujuan untuk meletakkan Indonesia sepenuhnya di bawah telapak
kaki mereka.
Berhubung dengan sebuah statement Politbiro CC PKI tanggal 13 September 1953
saya pernah dihadapkan kemuka pengadilan. Dalam sidang pengadilan tanggal 27
Januari 1955, dengan berpegang pada ayat 3 pasal 310 KUHP yang ditimpakan pada
saya, sudah saya nyatakan kesediaan saya kepada pengadilan untuk membuktikan
dengan saksi-saksi bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam
Peristiwa Madiun tersebut tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran
darah. Dengan ini berarti bahwa Hatta, ketika itu masih wakil Presiden, harus
tampil sebagai saksi berhadapan dengan saya. Kesediaan saya ini, yang juga
diperkuat oleh advokat saya, Sdr. Mr. Suprapto, tidak mendapat persetujuan
pengadilan. Jaksa menyatakan keberatannya akan pembuktian yang mau saya ajukan
dengan saksi-saksi. Oleh karena jaksa menolak pembuktian yang mau saya ajukan,
maka jaksa terpaksa mencabut tuduhan melanggar pasal 310 dan 311 KUHP. Jelaslah,
bahwa ada orang-orang yang kuatir kalau Peristiwa Madiun ini menjadi terang bagi
Rakyat.
Jadi, mengenai Peristiwa Madiun kami sudah lama siap berhadapan di muka
pengadilan dengan arsiteknya Moh. Hatta. Ini saya nyatakan tidak hanya sesudah
Hatta berhenti sebagai wakil Presiden, tetapi seperti di atas sudah saya
katakan, juga ketika Hatta masih Wakil Presiden. Saya tidak ingin menantang
siapa-siapa, tetapi kapan saja Hatta ingin Peristiwa Madiun dibawa ke
pengadilan, kami dari PKI selarnanya bersedia menghadapinya. Kami yakin, bahwa
jika soal ini dibawa ke pengadilan bukanlah kami yang akan menjadi terdakwa,
tetapi kamilah pendakwa. Kamilah yang akan tampil ke depan sebagai pendakwa atas
nama Amir Syarifuddin, putera utama bangsa Indonesia yang berasal dari tanah
Batak, atas nama Suripno, Maruto Darusman, Dr. Wiroreno, Dr. Rustam, Harjono,
Jokosujono, Sukarno, Sutrisno, Sarjono dan beribu-ribu lagi putera Indonesia
yang terbaik dari suku Jawa yang menjadi korban keganasan satu pemerintah yang
dipimpin oleh borjuis Minangkabau, Mohammad Hatta. Demikian kalau kita mau
berbicara dalam istilah kesukuan, sebagaimana sekarang banyak digunakan oleh
pembela-pembela kaum pemberontak di Sumatera, hal yang sedapat mungkin ingin
kami hindari. Ya, kami juga akan berbicara atas nama perwira-perwira,
bintara-bintara, dan prajurit-prajurit TNI yang tewas dalam "membasmi Komunis"
atas perintah Hatta, karena mereka juga tidak bersalah dan mereka juga adalah
korban perang-saudara yang dikobarkan oleh Hatta.
Dalam pembelaan saya di muka pengadilan tanggal 24 Februari 1955 telah saya
katakan "bahwa di antara orang-orang yang karena tidak mengertinya telah ikut
dalam pengejaran 'terhadap kaum Komunis', tidak sedikit sekarang sudah tidak
mempunjai purbasangka lagi terhadap PKI dan sudah berjanji pada diri sendiri
untuk tidak lagi menjadi alat perang-saudara dari kaum imperialis dan
kakitangannya". Alat-alat negara sipil maupun militer sudah mengerti bahwa dalam
Peristiwa Madiun mereka telah disuruh memerangi saudara-saudara dan
teman-temannya sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam pemiiihan umum untuk Parlemen maupun
untuk Konstituante lebih 80% daripada anggota-anggota Angkatan Perang memberikan
suaranya kepada partai-partai demokratis, dan 30% daripada suara yang diberikan
anggota Angkatan Perang adalah diberikan kepada PKI. PSI dan Masyumi hanya
mendapat kurang dari 20%, jadi kurang dari suara yang didapat oleh PKI sendiri
atau PNI sendiri. PSI yang mempunyai pengaruh di sejumlah opsir tinggi adalah
partai kelima di dalam Angkatan Perang, sedangkan Masyumi, karena politik pro
DI-nya, adalah partai keenam. Dengan ini, saya hanya hendak membuktikan bahwa
memukul PKI dengan menyembar-nyemburkan Peristiwa Madiun adalah tidak merugikan
PKI, malahan memberi alasan pada kami untuk berbicara dan menjelas-jelaskan
tentang Peristiwa Madiun.
Apalagi sekarang, sesudah terjadi pemberontakan kolonel Simbolon di Sumatera
Utara dan pemberontakan "Dewan Banteng" di Sumatera Barat, menggunakan Peristiwa
Madiun untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang, bukan muka PKI
yang kena, tetapi muka Masyumi dan PSI sendiri yang sekarang membela
pemberontak-pemberontak di Sumatera itu dengan mati-matian.
Hatta Bertanggungjawab Atas Penculikan, Pembunuhan Dan Perang-Saudara Tahun 1948
Mari, dalam menilai kebijaksanaan pemerintah Ali-Idham sekarang, kita
perbandingkan antara kebijaksanaan pemerintah Hatta tahun 1948 mengenai
Peristiwa Madiun dengan kebijaksanaan pemerintah Ali-ldham sekarang. Dari hasil
penilaian ini saya akan rnenentukan sikap saya terhadap kebijaksanaan pemerintah
sekarang.
Peristiwa Madiun didahului oleh kejadian-kejadian di Solo, mula-mula dengan
pembunuhan atas diri kolonel Sutarto, Komandan TNI Divisi IV, dan kemudian pada
permulaan September 1948 dengan penculikan dan pembunuhan terhadap 5 orang
perwira TNI, yaitu major Esmara Sugeng, kapten Sutarto, kapten Sapardi, kapten
Suradi dan letnan Muljono. Juga diculik 2 orang anggota PKI, Slamet Wijaja dan
Pardijo. Kenyataan bahwa saudara yang diculik ini pada tanggal 24 September
dimasukkan ke dalam kamp resmi di Danurejan, Jokjakarta, membuktikan bahwa
pemerintah Hatta langsung campurtangan dalam soal penculikan-penculikan dan
pembunuhan-pembunuhan di atas. Ini tidak bisa diragukan lagi !
Dalam pidatonya tanggal 19 September 1948 Presiden Sukarno mengatakan bahwa
Peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri. Ini sepenuhnya benar!
Sesudah penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan di Solo yang diatur dari
Yogya, keadaan di Madiun menjadi sangat tegang sehingga terjadilah pertempuran
antara pasukan-pasukan dalam Angkatan Darat yang pro dan yang anti
penculikan-penculikan serta pembunuhan-pembunuhan di Solo, yaitu pertempuran
pada tanggal 18 September 1948 malam. Dalam keadaan kacau balau demikian ini
Residen Kepala Daerah tidak ada di Madiun, Wakil Residen tidak mengambil
tindakan apa-apa sedangkan Walikota sedang sakit. Untuk mengatasi keadaan ini
maka Front Demokrasi Rakyat, dimana PKI termasuk di dalamnya, mendesak supaya
Kawan Supardi, Wakil Walikota Madiun bertindak untuk sementara sebagai penjabat
Residen selama Residen Madiun belum kembali. Wakil Walikota Supardi berani
mengambil tanggung jawab ini. Pengangkatan Kawan Supardi sebagai Residen
sementara ternyata juga disetujui oleh pembesar-pembesar militer dan
pembesar-pembesar sipil lainnya. Tindakan ini segera dilaporkan ke pemerintah
pusat dan dimintakan instruksi dari pemerintah pusat tentang apa yang harus
dikerjakan selanjutnya.
Nah, tindakan inilah, tindakan mengangkat Wakil Walikota menjadi Residen
sementara inilah yang dinamakan oleh pemerintah Hatta tindakan "merobohkan
pemerintah Republik Indonesia", tindakan "mengadakan kudeta" dan tindakan
"mendirikan pemerintah Soviet".
Kalau dengan mengangkat seorang Wakil Walikota menjadi Residen sementara bisa
dinamakan merobohkan pemerintah Republik Indonesia, bisa dinamakan kudeta dan
bisa dinamakan mendirikan pemerintah Soviet, nama apakah lagi yang bisa
diberikan kepada tindakan komplotan Simbolon dan "Dewan Banteng" di Sumatera?
Selain daripada itu, jika memang demikian halnya, alangkah mudahnya merobohkan
pemerintah Republik Indonesia, alangkah mudahnya mengadakan kudeta dan alangkah
mudahnya mendirikan pemerintah Soviet! Jika memang demikian mudahnya, saya kira
sekarang sudah tidak ada lagi Republik kita, karena nafsu merobohkan Republik
sekarang, begitu dikobar-kobarkan dan begitu besarnya di sementara golongan,
terutama di kalangan sebuah partai kecil yang kalah dalam pemilihan umum yang
lalu. Tetapi saya kira, merobohkan Republik Indonesia tidaklah begitu mudah
sebagaimana sudah dibuktikan oleh kegagalan Simbolon dan oleh makin merosotnya
pamor "Dewan Banteng", disamping Republik Indonesia tetap berdiri tegak. Apalagi
mendirikan pemerintah Soviet, tidaklah semudah mengangkat seorang Wakil Walikota
menjadi Residen sementara. Rakyat Tiongkok dan Tentara Pembebasan Rakyat
Tiongkok yang sudah berjuang mati-matian selama berpuluh-puluh tahun di bawah
pimpinan Partai Komunis Tiongkok hingga sekarang belum sampai ke taraf
mendirikan pemerintah Soviet, artinya pemerintah sosialis di Tiongkok. Jadi,
alangkah bebalnya, atau alangkah mencari-carinya orang-orang yang menuduh PKI
merobohkan Republik dan mendirikan pemerintah Soviet di Madiun dengan mengangkat
Wakil Walikota Supardi menjadi Residen sementara.
Berdasarkan kejadian pengangkatan Wakil Walikota Supardi menjadi Residen
sementara dan atas tanggung jawab sepenuhnya dari pemerintah Hatta, maka pada
tanggal 19 September 1948 oleh Presiden Sukarno dadakan pidato yang berisi
seruan kepada seluruh Rakyat bersama-sama membasmi "kaum pengacau", maksudnya
membasmi kaum Komunis dan kaum progresif lainnya secara jasmaniah. Saya katakan
sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Hatta, karena Hattalah yang menjadi Perdana
Menteri ketika itu. Tapi karena Hatta tahu bahwa pengaruhnya sangat kecil di
kalangan Angkatan Perang dan alat-alat negara lainnya, apalagi di kalangan
masyarakat, maka Hatta menggunakan mulut Sukarno dan meminjam kewibawaan Sukarno
untuk membasmi Amir Syarifuddin dan beribu-ribu putera Indonesia asal suku Jawa.
Ini, sekali lagi, kalau kita mau berbicara dalam istilah kesukuan yang sekarang
banyak dilakukan oleh pembela-pembela kaum pemberontak di Sumatera, sesuatu yang
sedapat mungkin ingin kami hindari.
Demikianlah, "kebijaksanaan" Hatta sebagai Perdana Menteri dalam menghadapi
persoalan-persoalan masyarakat dan persoalan politik yang kongkrit. Karena
kepicikannya dari kesombongannya sebagai borjuis Minang yang ingin melonjak
cepat sampai ke angkasa, karena kehausannya akan kekuasaan, karena kepala
batunya, karena ketakutannya yang keterlaluan kepada Komunisme, maka Hatta
sebagai Perdana Menteri dengan secara gegabah mengerahkan alat-alat kekuasaan
negara untuk menculik, membunuh dan mengobarkan perang saudara. Orang sering
salah kira dengan menyamakan sifat kepala batu Hatta dengan "kemauan keras" atau
sikap yang "konsekwen". Tetapi saya yang juga mengenal Hatta dari dekat
berpendapat, bahwa sifat kepala batu Hatta adalah disebabkan karena sempit
pikirannya, dan karena sempit pikirannya ia tidak bisa bertukar pikiran secara
sehat, tidak pandai bermusyawarah dan tahunya hanya main "ngotot", "mutung",
"basmi" dan "tangan besi". Dan apa akibatnya permainan "basmi" dan "tangan besi"
Hatta? Beribu-ribu pemuda dan Rakyat dari kedua belah pihak yang berperang mati
karenanya. Seluruh Rakyat sudah mengetahui dari pengalamannya sendiri bahwa
semua ini dilakukan hanya untuk melapangkan jalan bagi Hatta buat pelaksanaan
Konferensi Meja Bundar dengan Belanda yang langsung diawasi oleh Amerika
Serikat, untuk membikin perjanjian KMB yang khianat dan yang sudah kita batalkan
itu.
Sifat gegabah dari tindakan Hatta lebih nampak lagi ketika ia meminta kekuasaan
penuh dari BPKNIP, dimana di dalam pidatonya dinyatakan bahwa "Tersiar pula
berita -- entah benar entah tidak -- bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik
rampasan itu dan Mr. Amir Syarifuddin Perdana Menteri". Lihatlah betapa tidak
bertanggungjawabnya tindakan Hatta. la bertindak atas dasar berita yang sifatnya
"entah benar entah tidak" bahwa sesuatu "akan" terjadi. Ya, Hatta bertindak atas
berita yang masih diragukan tentang akan terjadinya sesuatu. Tetapi, adalah
tidak diragukan lagi bahwa tindakan Hatta sudah berakibat dibunuhnya ribuan
orang yang tidak berdosa tanpa proses.
Hatta lngin Berkuasa Sewenang-wenang Lagi
Berdasarkan pengalaman dengan Peristiwa Madiun, dimana Hatta menelanjangi
dirinya sebagai manusia yang tidak berperikemanusiaan, maka saya seujung
rambutpun tidak ragu bahwa Hatta, seperti belum lama berselang dimuat dalam
koran-koran pemah mengucapkan kepada Firdaus A. N., hanya bersedia berkuasa jika
tidak bisa dijatuhkan oleh Parlemen. Kalau mau tahu tentang Hatta, inilah dia!
lnilah politiknya, inilah moralnya, inilah segala-galanya! Yaitu, seorang yang
mau berkuasa secara sewenang-wenang.
Hatta sama sekali tidak menghargai jerih payah Rakyat yang kepanasan dan
kehujanan antri untuk memberikan suaranya untuk Parlemen kita sekarang. Lebih
daripada itu, ia juga tidak menghargai suaranya sendiri yang diberikannya ketika
memilih Parlemen ini. Orang yang tidak menghargai orang lain sering kita temukan
di dunia ini. Tetapi orang yang tidak menghargai suaranya sendiri, ini
keterlaluan.
Hatta ingin berkuasa kembali tanpa bisa dijatuhkan oleh Parlemen, ia memimpikan
masa keemasannya di tahun 1948. Kali ini yang mau dijadikannya mangsa bukan
hanya putera-putera Indonesia asal suku Jawa dan Batak, tetapi juga
putera-putera suku lain, termasuk putera-putera suku Minangkabau, karena PKI
sekarang sudah tersebar di seluruh Indonesia dan di semua suku. Tetapi, sebelum
Hatta sampai ke situ, perlu saya peringatkan bahwa dalam tahun 1948 ia hanya
berhadapan dengan 10.000 Komunis yang hanya tersebar secara sangat tidak merata
di pulau Jawa dan Sumatera, karena PKI ketika itu dilarang berdiri di daerah
pendudukan Belanda. Tetapi sekarang, Hatta harus berhadapan dengan lebih satu
juta Komunis yang tersebar di semua pulau dan di semua suku. Saya perlu
menyatakan ini, hanya untuk menerangkan betapa besar akibatnya kalau Hatta
bermain "tangan besi" lagi. Dan .... besipun bisa patah !
Saya yakin, bahwa tiap-tiap orang yang mempunyai peran tanggung jawab tidak
ingin terulang kembali tragedi nasional seperti Peristiwa Madiun itu. Dari pihak
Partai Komunis Indonesia, seperti sudah berulang-ulang kami nyatakan, dan sudah
menjadi pelajaran di dalam Sekolah-Sekolah Kursus-Kursus Partai kami, kami ingin
dan kami yakin bisa mencapai tujuan-tujuan politik kami secara parlementer. Kami
akan menghindari tiap-tiap perang-saudara selama kepada kami dijamin hak-hak
politik untuk memperjuangkan cita-cita kami. Tetapi, kalau kepada kami
disodorkan bayonet dan didesingkan peluru seperti dalam peristiwa Madiun, juga
seperti selama peristiwa itu, kami tidak akan memberikan dada kami untuk
ditembus bayonet dan ditembus peluru kaum kontra-revolusioner.
Kami kaum Komunis tidak ingin menggangu siapa-siapa selama kami tidak diganggu.
Kami ingin bersahabat dengan semua orang, semua golongan dan semua partai yang
mau bersahabat dan bekerja sama dengan kami untuk hari depan yang lebih baik
bagi tanah air dan Rakyat Indonesia. Walaupun di hadapan kantor pusat Masyumi di
Kramat Raja 45, Jakarta, terpancang dengan jelas papan "Front Anti-Komunis",
jadi anti kami, anti saya dan anti kawan-kawan saya, tetapi kami kaum Komunis
tidak akan ikut gila untuk juga memancangkan papan "Front Anti-Masyumi"',
apalagi "Front Anti-lslam". Kami tidak akan membiarkan diri kami terprovokasi
oleh pemimpin Masyumi ini. Saya pribadi tidak mau diprovokasi oleh kenalan lama
saya, Sdr. Mohamad Isa Anshari, pemimpin akbar "Front Anti-Komunis".
Berangsur-angsur Rakyat Indonesia berdasarkan pengalamannya sendiri menjadi
makin yakin bahwa bukanlah kaum Komunis yang anti-agama, tetapi sebaliknya,
sejumlah pemimpin partai-partai agamalah yang anti-Komunis dan menghasut
anggota-anggotanya supaya anti-Komunis.
Rakyat Indonesa sudah mengetahui bahwa dalam soal pemerintahan kami menginginkan
terbentuknya pemerintah persatuan nasional dimana didalamnya duduk 4-Besar, jadi
termasuk PKI dan Masyumi, bersama-sama dengan partai-partai lain. Ini akan kami
perjuangkan terus walaupun sampai ini hari saya kira Masyumi belum mau, karena
masih mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpin Masyumi Sdr. Moh. Natsir dalam
muktamar Masyumi di Bandung bulan Desember 1956. Dalam muktamar tersebut Sdr.
Moh. Natsir mengatakan antara lain bahwa pimpinan partai Masyumi "meletakkan
strateginya menghadapi pembentukan kabinet kepada dua pokok pikiran yaitu (a)
Memulihkan kerjasama antara partai-partai Islam (b) Menggabungkan tenaga-tenaga
non-Komunis dalam kabinet, Parlemen dan masyarakat serta mengisolir PKI atau
para crypto-Koi-ntinis dari kabinet". (Halaman 22 "Laporan Beleid Politik
Pimpinan Partai Masyumi"). Cobalah renungkan, bukan persatuan nasional yang
mereka ajarkan dan amalkan, tetapi perpecahan nasional. Mengisolasi PKI adalah
identik dengan mengisolasi berjuta-juta Rakyat Indonesia. Bagaimana persatuan
nasional akan bisa tercapai dengan sikap yang a-priori semacam ini. Sikap
semacam ini hanya mempertegas keadaan politik di negeri kita, dan yang untung
bukan bangsa Indonesia, tetapi kaum imperialis asing, yang memang menginginkan
peruncingan keadaan dan perpecahan di dalam tubuh bangsa kita.
Jadi, kapankah semua pemuka bangsa kita akan belajar dari pengalaman Peristiwa
Madiun yang tragis itu, supaya tidak lagi mengulangi kesalahan tindakan dan
kebijaksanaan agar persatuan bangsa kita terpelihara baik, supaya kita tidak
gegabah dalam mengambil tindakan-tindakan, apalagi tindakan-tindakan yang bisa
berakibat luas? Saya berusaha dan terus akan berusaha untuk menarik pelajaran
sebanyak-banjyaknya dari pengalaman sejarah itu.
Kabinet Ali-ldham Ber-puluh2 Kali Lebih Bijaksana Daripada Kabinet Hatta
Dibanding dengan kebijaksanaan pemerintah Hatta dalam menghadapi kejadian di
Madiun dalam bulan September 1948, kabinet Ali-ldham sekarang berpuluh-puluh
kali lebih bijaksana. Padahal kalau melihat kejadiannya, pengangkatan seorang
Wakil Walikota menjadi Residen sementara karena dipaksa oleh keadaan, belumlah
apa-apa kalau dibanding dengan pengoperan pimpinan pemerintah daerah Sumatera
Tengah oleh orang-orang "Dewan Banteng", yang terang-terangan direncanakan
terlebih dulu dalam reuni ex-divisi Banteng bulan November 1956, dan yang
terang-terangan sudah pernah menolak dan menghina perutusan pemerintah pusat
yang datang untuk berunding. Apalagi kalau dibanding dengan perbuatan komplotan
kolonel Simbolon pada tanggal 22 Desember 1956, yang terang-terangan menyatakan
tidak lagi mengakui pemerintah yang sah sekarang. Apalagi, kalau kita ingat
bahwa maksud yang sesungguhnya dari semua tindakan itu ialah untuk memisahkan
Sumatera dan Kalimantan dari Pemerintah Pusat, mendirikan negara Sumatera dan
Kalimantan serta mengadakan hubungan luar negeri sendiri. Apalagi kalau diingat
bahwa ada maksud-maksud untuk menyerahkan pulau We di Utara Sumatera kepada
negara besar tertentu untuk dijadikan pangkalan-perang. Apalagi kalau diingat
bahwa semua rencana itu sesuai sepenuhnya dengan apa yang direncanakan oleh
Pentagon dan State Department Amerika Serikat, oleh "jendral-jendral" DI-TII dan
aparat-aparat serta kakitangan-kakitangan Amerika lainnya yang ada di Indonesia.
Jika diingat semuanya ini, maka pengangkatan Wakil Walikota Supardi menjadi
Residen sementara Madiun adalah hanya "kinderspel" (permainan kanak-kanak).
Tetapi penamaan apa yang diberikan oleh Hatta kepada kejadian-kejadian di Madiun
bulan September 1948 dan penamaan apa pula yang, diberikan orang kepada
perbuatan-perbuatan kaum pemberontak di Sumatera pada bulan Desember 1956?
Peristiwa Madiun dinamakan "merobohkan Republik Indonesia", dinamakan "kudeta",
tetapi pemberontakan di Sumatera yang sepenuhnya dan secara terang-terangan
disokong oleh kaum imperialis asing, terutama kaum imperialis Amerika dan
Belanda, mereka namakan "tindakan konstruktif" demi "kepentingan daerah". Saya
bertanya : Konstruktif untuk siapa? Untuk kepentingan daerah mana? Memang
konstruktif sekali tindakan kaum pemberontak di Sumatera, konstruktif dalam
rangka membangun pangkalan-pangkalan perang SEATO! Memang untuk kepentingan
daerah, kepentingan perluasan daerah SEATO! Jadi, sama sekali tidak konstruktif
untuk Rakyat Indonesia dan sama sekali bukan untuk kepentingan daerah Indonesia
!
Demikianlah, apa sebabnya saya katakan bahwa mengemukakan Peristiwa Madiun dalam
keadaan sekarang untuk memukul PKI adalah seperti menepuk air didulang. Bukannya
PKI yang kecipratan, tetapi justru si penepuk air yang sial itu. Mengemukakan
soal Peristiwa Madiun dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang berarti
memberi alasan yang kuat untuk mengkonfrontasikan kebijaksanaan yang memang
bijaksana dari kabinet Ali-ldham sekarang dengan kebijaksanaan yang tidak
bijaksana dari Kabinet Hatta dalam tahun 1948. Jika sudah dikonfrontasikan, maka
akan merasa berdosalah orang-rang yang berteriak-teriak ingin melihat naiknya
Hatta kembali, kecuali kalau orang-orang itu memang ingin melihat Hatta sekali
lagi mempermainkan nyawa umat Indonesia sebagai mempermainkan nyawa anak ayam.
Kebijaksanaan kabinet Ali-ldham dalam menghadapi Peristiwa Sumatera sekarang
tidak disebabkan terutama karena Ali Sastroamijojo seorang Indonesia dari suku
Jawa yang toleran, tidak, tetapi karena pimpinan kabinet sekarang terdiri dari
orang-orang yang mempunyai perasaan tanggung jawab yang besar. Syukurlah, bahwa
ketika terjadi Peristiwa Sumatera Hatta tidak memegang fungsi dalam pimpinan
negara, walaupun saya tidak ragu adanya sangkut paut Hatta dengan
kejadian-kejadian itu. Kalau Hatta memegang fungsi penting, apalagi kalau Hatta
memegang tampuk pemerintahan, entah berapa banyak lagi korban yang dibikinnya.
Dalam usaha menyelesaikan Peristiwa Sumatera ada orang-orang yang ingin supaya
soal kolonel Simbolon "diselesaikan secara adat", supaya soal "Dewan Banteng"
diselesaikan "secara musyawarah", secara "potong kerbau" dan dengan "menggunakan
pepatah dan petitih". Pendeknya, adat, kerbau serta pepatah dan petitih mau
dimobilisasi untuk menyelesaikan soal kolonel Simbolon dan soal "Dewan Banteng".
Sampai-sampai orang-orang, yang tidak beradat juga berbicara tentang
"penyelesaian secara adat".
Tetapi, orang-orang ini pada bungkam semua ketika Amir Syarifuddin dengan tanpa
proses ditembus oleh peluru atas perintah Hatta. Ketika Amir Syarifuddin masih
ditahan di penjara Yogya sebelum dibawa ke Solo dan digiring ke desa Ngalian
untuk ditembak, tidak ada seorang Batak atau siapapun yang tampil ke depan, dan
mengatakan: "Mari soal Amir Syarifuddin kita selesaikan secara adat tanah
Batak", atau "Mari soal Amir Syarifuddin kita selesaikan secara Kristen".
Saya hanya ingin bertanya: Apakah Amir Sjarifuddin yang bermarga Harahap itu
kurang Bataknya daripada kolonel Simbolon sehingga adat Batak menjadi tidak
berlaku bagi dirinya? Saya kira Amir Syarifuddin tidak kalah Bataknya daripada
orang Batak yang mana jua pun, malahan ia tidak kalah Kristennya dari pada
kebanyakan orang Kristen. Amir Syarifuddin meninggal sesudah ia menyanyikan lagu
Internasionale, lagu Partainya, lagu kesayangannya, dan ia meninggal dengan
Kitab Injil di tangannya. Amir Syarifuddin adalah putera Batak yang baik, yang
patriotik, dan karena itu juga ia adalah seorang putera Indonesia yang baik.
Jadi tidak sepantasnya adat tanah Batak tidak berlaku baginya.
Bagaimana pula halnya ribuan orang Jawa yang didrel tanpa proses atas perintah
Hatta itu? Apakah suku Jawa yang menderita dari abad ke abad tidak mengenal
musyawarah dan tidak mengenal pepatah dan petitih sehingga ketika dilancarkan
kampanye pembunuhan terhadap orang-orang Jawa selama Peristiwa Madiun tidak ada
orang Jawa yang beradat dan tidak ada cerdik-pandai Jawa yang tampil ke depan
untuk menyelesaikan persoalan ketika itu secara rembugan (musyawarah), secara
adat, dan dengan berbicara menggunakan banyak paribasan (peribahasa), dengan
potong sapi, potong kerbau, dan dengan mbeleh wedus (potong kambing)? Ataukah
karena pulau Jawa sudah kepadatan penduduk maka pembunuhan atas orang-orang Jawa
oleh tangan besi borjuis Minang Mohammad Hatta boleh dibiarkan? PKI tampil ke
depan untuk kepentingan, "de zwijgende Javanen" ("Orang2 Jawa Yang Berdiam
Diri") ini, baik mereka Komunis atau pun bukan-Komunis. Ya, jika soal ini dibawa
ke pengadilan, PKI juga akan berbicara atas nama prajurit-prajurit,
bintara-bintara dan perwira-perwira dari suku Jawa yang mati karena melakukan
tugas "membasmi Komunis" yang diperintahkan oleh Hatta. Prajurit-prajurit,
bintara-bintara dan perwira-perwira yang mati dalam pertempuran melawan Komunis
ketika itu adalah tidak bersalah, sama tidak bersalahnya dengan Komunis-Komunis
yang mereka tembak. Mereka semuanya adalah korban permainan politik
perang-saudara Hatta. Tidak hanya kami, sebagai pewaris-pewaris dari
pahlawan-pahlawan Komunis dalam Peristiwa Madiun, tetapi juga keluarga para
prajurit, bintara dan perwira TNI yang disuruh "membasmi Komunis" berhak untuk
mendakwa Hatta sebagai pembunuh sanak-saudara mereka, jika soal ini dibawa ke
pengadilan.
Mari sekarang kita lihat bagaimana sikap pemerintah Hatta terhadap perwira yang
belum tentu bersalah dalam Peristiwa Madiun, dan bagaimana sikap pemerintah
Ali-ldham sekarang terhadap opsir-opsir yang sudah terang bersalah dalarn
pemberontakan-pemberontakan di Sumatera.
Pemerintah Hatta dengan tanpa memeriksa lebih dulu kesalahan mereka terus saja
memecat perwira-perwira, antara lain yang masih hidup sekarang bekas Jenderal
Major Ir. Sakirman, bekas Letnan Kolonel Martono, bekas Major Pramuji, dan
banyak lagi. Padahal perwira-perwira ini belum pernah dipanggil untuk menghadap,
apalagi diperiksa; jadi sama sekali tidak ada dasar untuk memecat mereka. Para
perwira yang belum tentu bersalah tidak hanya dipecat, tetapi banyak juga yang
disiksa di luar perikemanusiaan dan dibunuh tanpa dibuktikan kesalahannya
terlebih dahulu.
Sekedar untuk mengetahui bagaimana pembunuhan-pembunuhan kejam oleh alat-alat
resmi ketika itu, bersama ini, saya lampirkan 3 buah turunan laporan resmi dan
pengakuan resmi tentang pembunuhan terhadap diri Sidik Aslan dkk. dan terhadap
letnan kolonel Dakhlan dan major Mustoffa. Untuk menghemat waktu tidak saya
bacakan lampiran-lampiran ini. Lampiran-lampiran ini, saya sampaikan lepas dari
penilaian siapa dan bagaimana major Sabarudin, pembuat pengakuan-pengakuan
tersebut. Yang sudah terang major Sabarudin bukan simpatisan PKI, apalagi
anggota PKI.
Kekejaman pemerintah Hatta selama Peristiwa Madiun adalah berpuluh-puluh kali
lebih kejam dari pada pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi
pemberontakan Rakyat tahun 1926. Pemerintah kolonial Belanda masih memakai
alasan-alasan hukum untuk membunuh, memenjarakan dan mengasingkan kaum
pemberontak, tetapi Hatta sepenuhnya mempraktekkan hukum rimba. Semuanya ini
mengingatkan saya kembali pada tulisan Hatta yang berkepala "14 Juli", dimuat
dalam harian "Pemandangan" pada 14 Juli 1941 dimana antara lain ia menulis
tentang Petain, seorang Prancis boneka Hitler, sebagai "seorang serdadu yang
berhati lurus dan jujur". Hanya serigala mengagumi serigala, hanya fasis
mengagumi fasis !
Bandingkanlah sikap pemerintah Hatta terhadap kejadian di Madiun dengan sikap
pemerintah sekarang terhadap kolonel Simbolon yang sudah terang bersalah karena
merebut kekuasaan di sebagian wilajah Republik Indonesia, yang sudah terang
melanggar disiplin militer atau yang oleh Presiden Sukarno/Panglima Tertinggi
dalam amanatnya tanggal 25 Desember 1956 dirumuskan telah berbuat yang
"menggoncangkan sendi-sendi ketentaraan dan kenegaraan kita, dan yang
membahayakan keutuhan tentara dan negara kita pula". Kolonel Simbolon hanya
diberhentikan sementara sebagai Panglima Tentara dan Teritorium I. Sedangkan
terhadap pemimpin-pemimpin pemberontakan militer di Sumatera Tengah sampai
sekarang belum diambil tindakan apa-apa.
Tentu ada orang-orang yang mengatakan: ya, karena Panglima Tertinggi, Pemerintah
dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang sekarang tidak mempunyai kewibawaan,
maka mereka tidak menghukum perwira-perwira tersebut seperti Hatta dulu
menghukum perwira-perwira yang disangka tersangkut dalam Peristiwa Madiun.
Istilah "wibawa" pada waktu belakangan ini banyak dipergunakan orang dengan
masing-masing mempunyai interpretasinya sendiri-sendiri. Kalau dengan istilah
"wibawa" yang dimaksudkan ialah kemampuan pemerintah untuk bertindak, maka
terang bahwa pemerintah sekarang sanggup bertindak, sanggup memerintah, artinya
mempunyai kewibawaan. Apakah bukan tanda wibawa dari pemerintah sekarang dengan
dapatnya digulingkan kerajaan sehari komplotan kolonel Simbolon dalam waktu yang
sangat singkat?
Tanggal 22 Desember 1956 pemerintah memutuskan dan mengumumkan pemberhentian
sementara kolonel Simbolon sebagai Panglima TT I dan menyerahkan tanggung jawab
TT I kepada letnan-kolonel Jamin Gintings atau letnan-kolonel A. Wahab Macmour.
Dalam waktu hanya empat hari, yaitu pada tanggal 27 Desember 1956 komplotan
kolonel Simbolon sudah dapat diturunkan dari kerajaan seharinya. Ini artinya
bahwa seruan pemerintah dipatuhi, ini artinya pemerintah mempunjai kewibawaan.
Tentu ada orang-orang yang berkata lagi: ya, tetapi itu mengenai Sumatera Utara.
Mengenai Sumatera Tengah pemerintah tidak mempunyai kewibawaan. Mengenai ini
saya jawab sbb. : Tiap-tiap orang yang tahu imbangan kekuatan di dalam negeri
tidak sukar memahamkan, bahwa kalau pemerintah pusat sekarang mau bertindak,
apalagi kalau mau bertindak serampangan seperti Hatta, maka dengan pengerahan
serentak seluruh kekuatan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara,
dengan dibantu oleh massa Rakyat, maka kerajaan "Dewan Banteng" juga hanya akan
merupakan kerajaan sehari.
Soalnya bukanlah hanya menunjukkan kemampuan menggunakan kekuatan seperti yang
pernah dilakukan oleh Hatta, tetapi juga kebijaksanaan. Pada pokoknya kami
setuju bahwa pemerintah sekarang mengkombinasi kekuatan riilnya dengan
kebijaksanaan. Sikap ini merupakan dasar yang kuat bagi pemerintah, jika pada
satu waktu pemerintah harus bertindak keras, karena jalan perundingan sudah
tidak mempan lagi.
Walaupun kami kaum Komunis pernah diperlakukan secara kejam oleh pemerintah
Hatta selama Peristiwa Madiun, tetapi kami tidak menyetujui jika pemerintah
sekarang mencontoh perbuatan Hatta yang gegabah dan tidak bertanggungjawab itu.
Kita semua mengetahui bahwa politik "tangan besi" Hatta sepenuhnya menguntungkan
kepentingan kaum imperialis asing. Ya, walaupun banyak perwira penganut
cita-cita PKI yang dibasmi secara jasmaniah dalam Peristiwa Madiun, tetapi kami
tidak menuntut supaya kolonel Simbolon, letnan kolonel Abmad Husein dll. dibasmi
secara jasmaniah. Apalagi kami tahu bahwa banyak opsir-opsir yang tersangkut
dalam pemberontakan-pemberontakan di Sumatera adalah karena hasutan-hasutan
sebuah partai kecil yang keok dalam pemilihan umun, jl. Kami tidak menghendaki
penumpahan darah yang disebabkan oleh kehampaan kebijaksanaan.
Jadi apakah yang kami inginkan ?
Kami hanya ingin, supaya disiplin militer berjalan sebagaimana mestinya, supaya
hirarki ketentaraan ditaati dengan patuh, supaya Angkatan Perang tetap setia
kepada cita-cita Revolusi Agustus 1945, karena hanya dengan demikian kita dapat
membangun Angkatan Perang yang mampu membantu menyelesaikan semua tuntutan
Revolusi Agustus 1945. Hanya dengan penegakan tata tertib hukum dalam
ketentaraan yang berjiwa Revolusi Agustus 1945 Angkatan Perang kita akan setia
kepada sumbernya, yaitu Revolusi dan Rakyat.
Sebagaimana sudah saya katakan di atas, ada sementara orang berteriak supaya
diadakan penyelesaian "secara adat", "dengan potong kerbau" dan "dengan
menggunakan pepatah dan petitih". Tetapi, jika kita tidak waspada, apakah yang
tersembunyi di belakang kata-kata ini semuanya? Tidak lain ialah untuk
mencairkan disiplin dalam Angkatan Perang kita, untuk mengacau-balaukan hirarki
dan tata tertib hukum di dalam ketentaraan kita. Saya tidak berkeberatan jika
juga ditempuh jalan secara adat, kerbau-kerbau dipotongi dan segala macam
pepatah dan petitih nenek moyang digali dan dipakai, karena semuanya ini memang
warisan dan milik kita sendiri. Tetapi jangan lupa, bahwa semuanya ini hanyalah
faktor tambahan. Yang primer bagi orang-orang militer ialah tata tertib hukum di
dalam ketentaraan. Kalau tidak demikian lebih baik perwira-perwira yang
bersangkutan menanggalkan epoletnya dan kembali ke kampung untuk duduk dalam
lembaga-lembaga adat dikampung. Disanalah barangkali mereka akan menemukan
ketenteraman jiwanya.
Sesudah mengkonfrontasikan Peristiwa Madiun 1948 dengan Peristiwa Sumatera 1956,
maka sampailah saya pada kesimpulan, bahwa pemerintah Ali-ldham sekarang
berpuluh-puluh kali lebih bijaksana daripada pemerintah Hatta ketika menghadapi
kejadian-kejadian di Madiun dalam bulan September 1948. Ini dilihat dari sudut
kebijaksanaan. Dilihat dari sudut kewibawaan pemerintah Ali-Idham mempunyai
kewibawaan, dibuktikan oleh ketaatan alat-alatnya pada umumnya. Yang tidak
mentaati pemerintah sekarang hanya minoritas yang sangat kecil yang sudah
diracuni oleh sebuah partai kecil dan oknum-oknum liar yang tidak melihat hari
depannya dalam demokrasi, tetapi dalam sesuatu kekuasaan militeris-fasis. Adalah
janggal dan tidak bertanggungjawab jika pemerintah Ali-Idham menyerah kepada
ambisi partai kecil dan oknum-oknum liar ini.
Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan, bahwa adalah perbuatan yang tidak
bertanggungjawab untuk memberi kans sekali lagi kepada Mohamad Hatta, bapak
perang-saudara, seorang yang karena haus kekuasaan dan pendek akal telah
menewaskan beribu-ribu Rakyat dan pemuda baik orang-orang sipil maupun
orang-orang militer kita yang baik-baik.
Dwitunggal Tidak Pernah Ada
Sementara orang tentu akan bertanya: Tetapi bagaimana dengan "dwitunggal"?
Pertama-tama perlu saya nyatakan bahwa dwitunggal tidak pernah ada, bahwa
dwitunggal hanya ada dalam dunia impian orang-orang yang tidak mengerti
seluk-beluk sejarah perjuangan kemerdekaan dan sejarah pencetusan Revolusi
Agustus 1945.
Kalau orang mau tenang dan mau mengingat-ingat kembali pada pertentangan
pendapat yang sengit antara Sukarno dengan "Partai Indonesia" (Partindo) di satu
pihak dan Hatta-Sjahrir dengan apa yang dinamakan "Pendidikan Nasional
Indonesia" di pihak lain, maka orang akan sependapat bahwa dwitunggal yang
sungguh-sungguh memang tidak pernah ada. Untuk pertama kali, pada kesempatan ini
ingin saya nyatakan, bahwa saya sudah lama merasa ikut berdosa karena sudah
ambil bagian aktif dalam gerakan memaksa Hatta menandatangani Proklamasi 17
Agustus 1945. Hatta sudah sejak semula secara ngotot menentang pencetusan
Revolusi Agustus. la menggantungkan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya pada
rakhmat Saikoo Sikikan (Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Indonesia) yang
tidak kunjung tiba itu.
Saya merasa lebih-lebih ikut berdosa lagi ketika membaca pidato Hatta waktu
menerima gelar Dr. HC dari Universitas "Gajah Mada" dimana dengan tegas
dikatakannya bahwa revolusi harus dibendung. Kalau saya tidak salah Universitas
"Gajah Mada" sudah tiga kali memberikan gelar kehormatan, pertama kepada
Presiden Sukarno, kedua kepada Hatta dan ketiga kepada Ki Hajar Dewantara.
Pemberian yang pertama dan ketiga, menurut pendapat saya, adalah tepat, karena
Universitas "Gajah Mada" yang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar
kehormatan kepada orang-orang revolusioner, pengabdi-pengabdi revolusi. Tetapi
pemberian yang kedua, yaitu pada Hatta, maaf, adalah satu kekeliruan yang
mungkln tidak disengaja. Betapa tidak keliru, sebuah universitas yang dilahirkan
oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada seorang yang ingin membendung
revolusi, kepada seorang kontra-revolusioner.
Dwitunggal yang terdiri dari seorang revolusioner dan yang seorang lagi
kontra-revolusioner sama sekali bukan dwitunggal. Oleh karena itulah saya
katakan, dwitunggal tidak pernah ada, kecuali di dalam dongengan dan impian.
Dongengan tentang dwitunggal inilah yang antara lain telah membikin revolusi
kita menjadi macet, karena dwitunggal yang dibikin-bikin itu, yang heterogen
itu, telah membikin kita terjepit di antara dua kutub, kutub revolusi dan kutub
kontra-revolusi. Selama lebih sebelas tahun Rakyat Indonesia sudah ditipu dengan
apa yang dinamakan dwitunggal.
Revolusi kita berjalan terus, semua kekuatan revolusioner harus dipersatukan dan
dimobilisasi untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner.
Demikianlah, penilaian saya mengenai kebijaksanaan pemerintah sekarang, sesudah
saya mengkonfrontasikan kebijaksanaan pemerintah sekarang dengan kebijaksanaan
pemerintah Hatta ditahun 1948. Saya dipaksa untuk memberikan penilaian secara
ini, karena ada salah seorang anggota Parlemen kita yang dalam pemandangan
umumnya membawa-bawa Peristiwa Madiun.

Dimuat ke HTML oleh anonim di Homepage Mengerti PKI. Diedit supaya sesuai dengan
ejaan yang baru oleh Arief Chandra (April 2007)
Ini adalah diktat untuk KPS dan KPSS tentang "Pembangunan Partai" disusun oleh
Depagitprop (Departemen Agitasi dan Propaganda) CC PKI, 1958.

Apa pendapat anda untuk "Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948, Peristiwa Sumatera 1956Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948, Peristiwa Sumatera 1956 D.N. Aidit (1957)"

Silahkan tinggalkan Komentar..!!

Silahkan komentar yang sopan. dan saran buat perbaikan "blog proletar"

Cara Komentar:
1.Tulis Komentar Anda
2.Kemudian, Pilih Name/URL
Isi Nama Anda dan URL blog/wesite/facebook Anda
Kalau URL g isi pun tidak apa - apa
3.Klik "continue"
4.Kirim.

Tidak ingin ketinggalan informasi?

Setiap ada artikel baru, otomatis diinformasi- kan ke email Anda. Ketik Alamat Email Anda Disini, GRATIS

Ikuti Blog Proletar di FACEBOOK : @Proletar

Entri Populer

 
Top
http://blogproletar.blogspot.com
The articles are copyrighted to Blog proletar | About me | Informasi Proletar
Site Meter